Langsung ke konten utama

Postingan

postingan baru

Merebut "aku", merajut "kita"

  Merebut "aku", merajut "kita" 28 Oktober 1928, generasi muda yang mewaliki masing-masing identitas bangsa, mengawali perhelatan penting yang menjadi dasar kesadaran akan keharusan persatuan. Masa di mana trilogi pemuda lahir, yang berisi kesepakatan untuk berbangsa, berbahasa, dan bertumpah darah satu; Indonesia. Peristiwa itu menjadi monumen sejarah yang menjelaskan genealogi bangsa ini yang saling terintegrasi, terikat dengan identitas kolektif—menyempurnakan satu sama lain. Peristiwa yang sekarang dikenal dengan sumpah pemuda itu, adalah gebrakan yang menerobos dinding-dinding perbedaan, serta berupaya membangun jembatan yang menghubungkan titik-titik keseragaman. Kenyataan akan kehidupan masyarakat yang lekat dengan kemajemukan inilah, yang akhirnya mengantarkan para founding father kita untuk memilih asas Bhinneka Tunggal Ika sebagai asas negara Indonesia. Asas yang mengakui heterogenitas, dan menjunjung tinggi pluralitas. Sehingga, perbedaan sebagai sebu...
Postingan terbaru

Menyoal tes PERADES, Blora memang butuh pemimpin radikal

Adanya dugaan kecurangan tes perangkat desa (PERADES) yang masif (serta sistematis?), memang menjadi sesuatu hal yang menjengkelkan. Tetapi, fenomena seperti itu, bukan hal baru yang mengejutkan.  Meskipun tidak semua orang merasa dirugikan oleh dugaan kecurangan tes PERADES ini, tetapi jika kecurangan itu sampai terbukti, berarti semakin benar asumsi yang berkata bahwa para politisi dan pemegang otoritas di negeri ini sangat krisis integritas, empati, dan kompetensi. mengingat, indikasi kecurangan itu menjalar kesegala lini, tanpa mengenal domisili. Tetapi, desas-desus tidak pasti tentang kecurangan itu tetap ada baiknya. Ya... hitung-hitung menjadi topik obrolan yang seru dalam skala warung kopi, yang menambah rekat hubungan komunikasi serta menggugah kesadaran berpolitik rakyat. Bukankah, kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas pelaksananya, yang tidak lain adalah rakyat itu sendiri? Nah, sialnya, kita sebagai warga negara yang baik, tetap harus berpegang teguh pada asas “pr...

Teologi yang sekuler?

  Teologi yang sekuler? Sudah menjadi rahasia umum bahwa agama dalam negara Indonesia menempati kedudukan yang membingungkan, walaupun nilai-nilai keagamaan ada di posisi pertama dari kelima sila dasar negaranya. Indonesia, bukan negara teokrasi yang menjadikan agama sebagai landasan hukum yang mutlak dijalankan masyarakatnya. Begitu pun juga bukan negara sekuler yang mengingkari ajaran agama yang dianggapnya hanya persoalan keyakinan individual saja. Indonesia, mengisi ceruk kosong di antara keduanya. Jika agama dan negara ibarat dua sejoli yang saling menaruh rasa, maka hubungan di antaranya adalah teman tetapi mesra. Lekat, namun tidak ada kepastian yang mengikat. Dikala waktu, jalinannya begitu hangat, begitu intim, sehingga mampu merajut ikatan batin yang membopong “penjual agama” untuk naik ke kursi takhta. Namun bukan tidak mungkin hubungan mesra tersebut juga berubah menjadi sebaliknya. Ketika umat beragama telah murka dan merasa tersinggung hatinya, mereka bisa mengantar...

Koruptor lahir dan tumbuh dari sekolah

Koruptor lahir dan tumbuh dari sekolah Praktik korupsi di Indonesia seperti kasus Jiwasraya, kasus E-KTP, kasus proyek Hambalang, kasus BLBI, dan tentu saja masih banyak lagi kasus-kasus lain—dan akan terus muncul kasus baru—memang sangat menjengkelkan. Kendati demikian, ia sama sekali bukan fenomena yang “mengejutkan”. Sebab tidak hanya lahir sebagai permasalahan kontemporer yang baru saja dilahirkan. Tetapi telah lama ada bahkan jauh sebelum era kemerdekaan. Menciptakan pertanyaan: mengapa orang seperti itu selalu eksis di setiap zaman, dan seolah tidak pernah punah dalam runtutan sejarah panjang peradaban? Mari kita berspekulasi, membiarkan pikiran liar dan suuzan mengambil peran saat ini. Mencari "kambing hitam" mengapa budaya korupsi seolah mengakar kuat di negeri ini. Cukup berspekulasi. Sebab “memberantas” adalah tugas yang berat. Butuh integritas. Berbeda dengan hanya mengacungkan jari telunjuk ke pihak lain. Dan saya menaruh curiga, jika lembaga pendidikan kitalah pe...

Pandemi, anti-intelektualisme, dan teroris kemanusiaan

Pandemi, anti-intelektualisme, dan teroris kemanusiaan Beberapa hari yang lalu, ada seorang mahasiswa dari salah satu universitas ternama yang mengajak berdiskusi. Dia melontarkan statement, “vaksin itu tidak aman, itu hanya akal-akalan elit global untuk memasukkan chip ke dalam tubuh kita”. Sontak saya terkejut, dan juga skeptis. Tidak hanya pada pernyataannya, tetapi juga pada dirinya. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, mengapa sekelas dia masih percaya hoax murahan seperti itu? Pada awalnya, saya percaya jika dia hanya ingin memantik sebuah diskusi, tanpa bermaksud mengamini. Tetapi, ternyata dia memang sangat yakin, jika apa yang dia sampaikan adalah sebuah kebenaran yang hanya diketahui segelintir orang. Memang miris, ternyata berita hoax tidak hanya menyasar pada orang dengan pendidikan yang rendah saja. Tetapi juga berhasil mempengaruhi pemikiran pelajar perguruan tinggi yang notabene dianggap memiliki pemikiran kritis. Sudah hampir dua tahun terhitung sejak awal terdeteksi pada 1...

Mengapa sekolah tidak mengajari kita berpikir?

Mengapa sekolah tidak mengajari kita berpikir? Waktu masih kelas 1 SD, saya sering bertanya kepada guru IPA tentang hal-hal absurd dan bersifat spontanitas yang terlintas dalam lamunan. Seperti: “mengapa bumi berbentuk bulat?”, “mengapa satelit alami bumi hanya satu, tidak banyak seperti jupiter?”, atau “jika manusia berevolusi dari kera, lalu jin dan hantu dari apa?”. Pertanyaan-pertanyaan absurd tersebut terus memberondong dan menghantui guru IPA saya bahkan terbawa sampai SMA (saya memilih jurusan MIPA hanya karena ingin bertanya). Namun, sebab pengetahuan saya lebih banyak diabandingkan diri saya ketika SD, pertanyaan saya agak berubah menjadi lebih berbobot (mungkin...). Seperti: “apakah api itu materi, atau gelombang?”, “kapan awal janin dianggap telah hidup ketika di kandungan?”, dan merembet ke masalah sosial politik seperti “kenapa pelajaran sejarah diajarkan secara parsial? Apakah ini bentuk doktrin masa orde baru?” dll.  Namun sekarang, fase tertinggi dalam gradasi imaji...

Omong kosong hari peringatan

Omong kosong hari peringatan Hari peringatan, secara simbolis adalah upaya mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa historis penting di masa lalu, atau upaya menghargai upacara penting suatu agama. Namun, secara substantif, hari peringatan tidak lebih dari hari libur biasa yang dinanti para pelajar dan buruh yang telah lelah dengan rutinitasnya yang monoton. Tidak salah jika menyebutnya hari peringatan, sebab jika tidak libur, masyarakat mungkin tidak akan ingat. Jika sudah ingat, pasti akan sangat jarang terdengar pertanyaan: “Ini libur hari apa?”.  Barangkali, peringatan tersebut tidak lebih dari omong kosong belaka pada pamflet yang bertebaran di sosial media. Dia hanya sebatas retorika yang esok harinya menguap entah ke mana. Tanpa ada usaha untuk masuk pada ruang kontemplasi di dalamnya. Tanpa ada pemikiran dalam diri, “mengapa hari ini harus diperingati?”. Seperti peringatan hari lahirnya Pancasila. Berkali-kali telah diperingati, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamny...

Pembunuhan massal filsuf kecil

Pembunuhan massal filsuf kecil Anak adalah anugerah luar biasa dari sebuah keluarga. Bahkan satu orang anak, dapat "bermetamorfosis" menjadi penyebab perubahan pada sistem yang telah diterapkan pada sebuah negara; membunuh 6 juta manusia dalam satu komando yang keluar dari mulutnya; menaklukkan 1/3 luas permukaan dunia dengan kekuatan yang dimilikinya; menjadi pemimpin yang menyambung jutaan lidah masyarakat menjadi satu suara; dan banyak hal besar lainnya. Dari peluruhan dua sel jantan dan betina, menjadi cikal bakal makhluk hidup multiseluler dengan 70 triliun sel yang esensinya transenden. Namun, potensi besar sang anak sebagai “penentu masa depan” terpaksa hilang, direbut paksa oleh aspek yang ironisnya paling dekat dengan kehidupan sang anak sendiri: keluarga. Aspek yang mampu konstruktif sekaligus destruktif dalam waktu bersamaan. Tetapi, muncul pertanyaan... Tubuh anak, milik siapa? Anak adalah pribadi yang merdeka. Dia adalah makhluk utuh dengan kebebasan yang melekat...

Apa yang salah terhadap agama?

Apa yang salah terhadap agama? Kita semua tahu jika agama adalah suatu hal yang interpretatif. Sebab satu ayat dalam kitab suci, bisa dimanifestasikan dalam banyak tindakan sekaligus. Bahkan tindakan-tindakan tersebut bisa saling bertolak belakang. Seolah ajaran kitab suci saling kontradiktif, tidak konsisten, dan memiliki standar ganda. Layaknya tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh umat Islam untuk membunuh kaum agama lain. Atau tindakan rela meregang nyawa dari orang Islam demi menyelamatkan kaum agama lain. Semuanya sama-sama menggunakan motif agama. Semua merasa telah melakukan kebenaran. Semua merasa tindakannya didasari pada sumber yang sama. Walaupun dari dua contoh aktual tersebut, saling memungkiri satu dengan yang lainnya. Menurut Muhammad Fethullah Gulen, agama memegang peranan penting dalam perkembangan dan penentuan jati diri peradaban manusia, pengorganisasian dalam bermasyarakat, dan penjaga nilai-nilai etika.¹ Dan agama yang memenuhi syarat sebagai pilar peradaba...

Lampu hias, politik identitas & arogansi mayoritas

Lampu hias, politik identitas & arogansi mayoritas Jelang lebaran 1442 H, wajah kota Blora dirias dengan adanya 99 lampu hias Asmaul Husna yang terpasang di seputar alun-alun dan di sepanjang jalan area pusat kota. Memang, tidak ada yang salah dengan pembuatan hiasan pada fasilitas publik yang lebih mengedepankan nilai estetika daripada aspek fungsional—walaupun harus menegaskan suatu identitas tertentu yang kebetulan juga mayoritas. Pun, pembangunan hiasan kota itu tidak menimbulkan kerugian langsung kepada masyarakat. Toh, itu merupakan “hadiah” sebagai hiburan dari perusahaan yang telah lama didamba masyarakat supaya ikut terlibat dalam pembangunan daerah. Tetapi, hal biasa tersebut berubah menjadi lebih menarik, ketika pengadaan lampu hias Asmaul Husna yang menegaskan identitas mayoritas itu, menjalar sampai melewati objek-objek bangunan yang merepresentasikan identitas minoritas; menjalar sampai ke rumah peribadatan agama lain. Hal ini, dapat menjadi indikasi serius yang melah...

Dari sentimen agama, hingga intervensi elite global

  Dari sentimen agama, hingga intervensi elite global Setiap orang pasti mendambakan sebuah kemajuan. Begitu pun kesejahteraan dan keadilan. Namun utopia tidak dibarengi dengan paradigma yang berkemajuan juga. Dan malas berfikir adalah faktor utama hambatan menggapai utopia tersebut. Ditambah dengan cara berasumsi masyarakat dengan premis yang tidak masuk akal dan landasan kesimpulan yang salah kaprah. Salah satu contohnya adalah sentimen agama dalam menanggapi fenomena yang tidak mampu kita jabarkan. Apa pun fenomena yang belum kita pahami, jawaban di garda terdepan pasti akan menyangkut agama: “Banjir di kota ini sebab pemimpinnya dzolim.” “Wah, pohon ini keluar air, bukti kebesaran Tuhan.” “Ini sudah takdir Yang Maha Kuasa.”; Sejak kapan banjir disebabkan pemimpin yang dzolim? Bukan karena penyumbatan aliran sungai oleh sampah yang dibuang sembarangan? Agama seolah dijadikan alibi oleh permasalahan yang ditimbulkan masyarakat sendiri, padahal tidak ada korelasinya sama sekali. D...

Seragam sekolah: komunisme yang setengah-setengah

Seragam sekolah: komunisme yang setengah-setengah “Seragam adalah simbol ketertindasan.” Sebuah gagasan yang menggelitik realitas dari tetangga Spongebob Squarepants, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Squidward Tentacles. Selain menjadi mas-mas SJW yang membela nasib buruh, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kaum borjuis di bikini bottom yang direpresentasikan oleh Mr. Krab, dia juga berhasil membawa saya pada ruang kontemplasi yang mendalam dan membuat saya bertanya tentang, “Apa fungsi seragam?”  Banyak di antara kita yang mungkin langsung menjawab “penyamarataan kasta.” Supaya si kaya dan si miskin tidak ada sekat pembatas dan membaur dengan semestinya. Tapi apakah relevan? Seragam tidak lebih hanya urusan baju dan celana, serta emblem tambahan yang sudah jadi pelengkapnya. Tapi bukan hanya itu yang melekat pada tubuh siswa. Banyak aksesoris lain yang luput dari “keseragaman” dan mampu merepresentasikan kesejahteraan pemakainya. Sepatu dan tas contohnya. Dengan sekejap ...

Euforia taqlid buta

Euforia taqlid buta “Agama adalah candu”, gagasan yang pastinya tidak asing kita dengar. Tercantum dalam tulisan karya Karl Max: A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right.  Gagasan yang pada akhirnya menjadi sebuah alat propaganda “negara timur”, yang menjadi basis kekuatan komunisme terbesar di dunia. Walaupun teks aslinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi “Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, dan jiwa dari keadaan yang tak berjiwa. Agama adalah opium masyarakat”. Namun, potongan “Agama adalah candu”  relevan rasanya jika dilihat dari sundut pandang politik dan bernegara. Walaupun maknanya menjadi bertolak belakang dengan gagasan Marx yang sebenarnya. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang hilang, memunculkan kekosongan kepemimpinan yang dirindukan banyak orang. Sehingga, ketika muncul seorang karismatik, yang mampu memberikan sebuah alternatif, banyak orang berbondong-bondong membaiatny...

"Arogansi mayoritas” umat beragama

"Arogansi mayoritas” umat beragama Jika dalam suatu kelompok yang masif terdapat beberapa golongan, dan satu di antara golongan lain ada yang bersifat dominan, kecenderungan akan melakukan intimidasi, kekerasan, dan tindakan yang merendahkan golongan yang minoritas akan jauh lebih besar. Kita analogikan seperti kasus pengeroyokan suporter bola (A) kepada suporter bola (B). Kecil kemungkinan akan terjadi tindak kekerasan jika di kedua belah pihak memiliki basis kekuatan yang sama. Dari kedua belah pihak akan berpikir dua kali untuk memulai perkelahian. Namun, sebab di salah satu sisi suporter bola (B) sedang “lemah”, keadaan akan sangat menguntungkan sisi yang lain, dalam hal ini suporter bola (A). Terlebih lagi, di dalam suatu kelompok sudah tidak ada lagi tanggung jawab individu, melainkan semua kesalahan dipukul rata pada golongan. Satu saja individu berbuat kesalahan, satu kelompok ikut terkena imbasnya. Sebab itu, di dalam kelompok individu akan merasa lebih leluasa melakukan ...

Kalau begitu, hukum mati saja siswa penyontek!!!

Kalau begitu, hukum mati saja siswa penyontek!!! Banyak peristiwa besar yang terjadi hanya karena peristiwa kecil yang dianggap sepele. Seperti kisah penyelamatan oleh tentara inggris bernama Henry Tandey, yang mengasihani dan melepaskan seorang kurir tentara Jerman yang terluka. Namun, sebab kejadian itu lebih dari 60 juta manusia harus meninggal pada peristiwa holocaust. Ya, orang yang diselamatkan Henry Tandey bernama Adolf Hitler; kita menyebut fenomena itu sebagai, “butterfly efect”: yaitu perubahan kecil pada suatu kejadian dapat berpengaruh besar pada peristiwa setelahnya secara linear. Walaupun, ini hanya sebuah bentuk penggambaran, sebab tidak ada hubungan kausalitas yang jelas antara peristiwa satu ke yang lainnya. Namun, apa hubungannya dengan siswa penyontek? Mindset manipulatif dan tidak jujur yang tertanam pada tipikal siswa yang hobi menyontek, adalah cikal bakal mindset manipulatif dan tidak jujurnya para pejabat yang korup. Dengan kata lain, para pejabat yang doyan kor...