Langsung ke konten utama

Merebut "aku", merajut "kita"

 

Merebut "aku", merajut "kita"

28 Oktober 1928, generasi muda yang mewaliki masing-masing identitas bangsa, mengawali perhelatan penting yang menjadi dasar kesadaran akan keharusan persatuan. Masa di mana trilogi pemuda lahir, yang berisi kesepakatan untuk berbangsa, berbahasa, dan bertumpah darah satu; Indonesia. Peristiwa itu menjadi monumen sejarah yang menjelaskan genealogi bangsa ini yang saling terintegrasi, terikat dengan identitas kolektif—menyempurnakan satu sama lain. Peristiwa yang sekarang dikenal dengan sumpah pemuda itu, adalah gebrakan yang menerobos dinding-dinding perbedaan, serta berupaya membangun jembatan yang menghubungkan titik-titik keseragaman.

Kenyataan akan kehidupan masyarakat yang lekat dengan kemajemukan inilah, yang akhirnya mengantarkan para founding father kita untuk memilih asas Bhinneka Tunggal Ika sebagai asas negara Indonesia. Asas yang mengakui heterogenitas, dan menjunjung tinggi pluralitas. Sehingga, perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dapat dirangkul bersama menggunakan satu identitas kolektif, bernama: “Bangsa Indonesia”.

Namun, meleburkan identitas diri kepada identitas kolektif, tidak selamanya mengandung makna persatuan. Dalam bentuknya yang partikular dan kebablasan, orang akan menumbalkan eksistensi diri kepada kelompok secara radikal. Jadi, dirinya merasa bukan anasir dalam identitas kolektif tersebut, melainkan representasi absolut identitas kolektif itu sendiri. Layaknya ketersinggungan kelompok umat Islam dalam kontestasi politik di ‘gerakan 212’, yang selalu mendeklarasikan diri sebagai perwakilan dari umat Islam secara universal. Padahal, ini hanya upaya reaktif yang emosional secara berlebihan, dari kelompoknya yang parsial. Tidak hanya pada identitas keagamaan saja; identitas suku, identitas daerah, identitas organisasi, dan seluruh “identitas massa” yang lain, tidak jarang menemui kasus-kasus yang serupa.

Seiring berjalannya waktu, jika hal ini terus berlalu, individu akan kehilangan eksistesnsi, kehilangan kedaulatan diri. Karena yang dianggap eksisten hanya ide abstrak yang ter-institusi; keseragaman yang terorganisasi. Peleburan identitas yang kebablasan itu, hanya bermuara pada fragmentasi yang memecah integrasi. Yang membangun kembali dinding-dinding pembatas yang tegas di antara perbedaan, dan menciptakan jembatan yang menyalurkan rasa benci berkepanjangan. Pada akhirnya, kita tidak “Tunggal” dalam “Bhinneka”, tetapi menumbalkan kebhinekaan demi identitas yang manunggal. Sebab beda adalah tabu. Perbedaan adalah dosa. Untuk diakui, kita dituntut untuk serupa.

Kehadiran orang-orang yang melupakan eksistensi individu sebagai pribadi yang utuh dalam melihat diri sendiri ini, bukan tidak mungkin menciptakan perpecahan. Sebab, menyimpan potensi untuk gagal dalam melihat sisi kemanusiaan jika dihadapkan pada perbedaan. Terlebih, identitas massa memberi rasa aman dan legitimasi kepada seseorang yang ingin bersikap "anarkisme tanpa batas". Sebab kehadiran massa, mengaburkan tanggung jawab pribadi. Layaknya kasus penjarahan mei 1998, yang menarik serta ratusan, bahkan ribuan orang untuk berperan serta dalam melakukan tindakan amoral hanya pada satu titik lokasi saja—di antara banyak titik-titik lokasi yang lain. Mereka yang terlibat, tidak semua didasari dari perencanaan. Melainkan, spontanitas yang diperkeruh dengan kebencian terhadap suatu golongan. Dan, semakin banyak yang terlibat, maka semakin berani orang untuk bertindak jahat, serta semakin diwajarkan aksi membabi buta untuk diperbuat.

Oleh karenanya, kita banyak menjumpai gesekan antar suku, antar agama, antar ideologi, dan gesekan antar identitas massa lainnya. Sejenak lupa, jika ada lebih banyak persamaan jika diuraikan dari pada perbedaan di antara keduanya. Benar, semudah itu untuk menghargai. Semudah mengakui jika yang ‘berbeda’ tetaplah manusia. Dan berbeda adalah keniscayaan yang lahir dari kekayaan pemikiran yang tak terhindarkan. Layaknya asas logika principium identitatis, bahwa setiap entitas, punya identitas individual, yang oleh karenanya, setiap entitas itu berbeda satu sama lain. Namun, dalam 'kemudahan' untuk bisa menghargai perbedaan itu, ternyata masih menyimpan “gab” antara aspek ideologis dan empiris; seperti ada jeda yang sangat jauh antara gagasan dan kenyataan.

Kita seolah tidak pernah memiliki landasan filosofis yang mengakui eksistensi individu seperti cogito ergo sum-nya Descartes atau eubermensch-nya Nietzsche. Padahal, kelompok tidak akan pernah ada jika tidak ada individu. Dan kita, seolah tidak memiliki dasar intelektual maupun budaya yang menjajarkan individu setara dengan kelompok—kecuali raja, layaknya aksioma sabdha pandhita ratu. Sampai-sampai, para pejabat menggunakan kata “kami” alih-alih “saya” dalam menyebutkan dirinya. Seolah menegasikan keminderan, serta mengandung pretensi lepas dari tanggung jawab. 

Jika saja ada individu yang tidak peduli dengan paksaan keseragaman, dan berupaya berdaulat minimal dalam pikiran, dalam sejarah, kita justru menemui kasus seperti terbunuhnya Syekh Siti Jenar yang mengaku dirinya Tuhan. Atau seperti realitas yang digambarkan dalam karya sastra "Siti Nurbaya" yang berusaha melawan adat kawin paksa akibat siasat licik Datuk Maringgih. Padahal, cinta dari Siti Nurbaya ditujukan kepada Samsulbahri, namun tetap saja tak berdaya dihadapan tradisi. Yang dalam penjabarannya, semua tokoh dituliskan mati.

Bahkan, ketika individu sudah melebur dalam suatu identitas kolektif pun, tidak jarang masih menempati posisi subordinat dibandingkan dengan identitas kolektif lain yang superior. Layaknya kasus genosida yang menimpa suatu golongan yang 'dianggap' PKI tahun 1965, diskriminasi rasial yang diterima oleh masyarakat Papua, atau upaya resistensif pada suatu pemeluk agama minoritas seperti Baha'i, Syi'ah, dan aliran kepercayaan minoritas lain oleh agama mayoritas, dan kasus-kasus generalisasi identitas yang melahirkan perpecahan lainnya. Realitasnya, kolektivitas tidak bisa menjamin kata bebas (free will) yang bukan dalam maknanya yang peyoratif—yaitu, kebebasan yang tidak merenggut kebebasan orang lain. Karena kebebasan secara empiris hanya dimiliki dan dimonopoli oleh pihak atau kelompok superior yang tidak jarang bermuara pada tindakan arogansi.

Meskipun identitas kolektif itu menyimpan bahaya laten yang dapat menggerus identitas lain yang lebih lemah, nyatanya, kita tidak pernah bisa lepas dari kolektivitas. Dan meminjam Radhar Panca Dahana, kita sejatinya adalah individu-individu yang retak. Yang mencari keutuhan kepada individu lain. Saling terikat dan mengikat. Dan tidak dapat dipungkiri, salah satu faktor dari kemerdekaan Indonesia, dicapai dari adanya kesadaran kolektif untuk bisa hidup tanpa ketertindasan. Meskipun, tidak sedikit upaya perlawanan terhadap pihak kolonial di suatu daerah itu, hanya merupakan upaya reaktif yang bersifat lokal. Namun, kesadaran akan pentingnya persatuan, mempercepat kedaulatan untuk bisa direbut dalam genggaman.

Kita memang tidak mau menjadi individual yang egosentris. Tetapi, juga tidak mau hidup berkamuflase, agar selaras dengan individu lain. Jadi, bisakah kita melebur dalam identitas kolektif—ber-"bhineka tunggal ika, unity in diversity, el pluribus unum"—tanpa harus mengorbankan eksistensi individu? Dan bisakah bangsa kita yang memegang teguh asas kekeluargaan melahirkan keadilan seperti layaknya sila kelima Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia---keadilan yang tidak terkecuali pada identitas individu, kelompok, maupun identitas apa pun?

Komentar