Langsung ke konten utama

Lampu hias, politik identitas & arogansi mayoritas


Lampu hias, politik identitas & arogansi mayoritas

Jelang lebaran 1442 H, wajah kota Blora dirias dengan adanya 99 lampu hias Asmaul Husna yang terpasang di seputar alun-alun dan di sepanjang jalan area pusat kota.

Memang, tidak ada yang salah dengan pembuatan hiasan pada fasilitas publik yang lebih mengedepankan nilai estetika daripada aspek fungsional—walaupun harus menegaskan suatu identitas tertentu yang kebetulan juga mayoritas. Pun, pembangunan hiasan kota itu tidak menimbulkan kerugian langsung kepada masyarakat. Toh, itu merupakan “hadiah” sebagai hiburan dari perusahaan yang telah lama didamba masyarakat supaya ikut terlibat dalam pembangunan daerah.

Tetapi, hal biasa tersebut berubah menjadi lebih menarik, ketika pengadaan lampu hias Asmaul Husna yang menegaskan identitas mayoritas itu, menjalar sampai melewati objek-objek bangunan yang merepresentasikan identitas minoritas; menjalar sampai ke rumah peribadatan agama lain.

Hal ini, dapat menjadi indikasi serius yang melahirkan interpretasi yang ambivalen. Bagaikan dua sisi pisau belati yang masing-masing saling membelakangi. Satu sisi menggambarkan kepekaan akan pluralitas masyarakat dalam menghadapi keniscayaan perbedaan. Dan di sisi lain, dapat berarti sebagai dominasi yang secara implisit meneguhkan ulang superioritas.

Dari sisi yang pertama, diindikasikan dari terjaganya harmonisasi dan integrasi antar umat beragama, yang saling memberi ruang dalam aktualisasi identitas, tanpa ada sikap resistensi antara kedua belah pihak. Bentuk pengejawantahan dari Bhinneka Tunggal Ika dalam aspek keragaman agama. Dan tentu saja, menjadi sebuah prestasi tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat Blora.

Namun, dari sisi yang kedua, bukan tidak mungkin, peristiwa ini menyimpan ketegangan laten yang barangkali tidak disadari.

Mengingat, di Indonesia sendiri masih banyak ditemui kasus pluralisme semu yang justru semakin menggambarkan betapa masih gagapnya bangsa ini untuk menuju persatuan inklusif.

Hening dan diam bukan berarti sedang baik-baik saja. Sebab, di dalamnya, bisa saja mengandung penentangan yang tertahan oleh perasaan inferioritas. Seperti kita tahu, segala bentuk ekspresi penentangan dalam praktik beragama akan selalu bersifat riskan. Ditambah, (kalau saya boleh menyebut) ”kebaperan” agama ini didukung oleh konstitusi atas nama penistaan agama. Yang dalam praktiknya, lebih banyak menimpa—kalau tidak mau mengatakan “menindas”—kelompok minoritas.

Kita tidak sedang menjadi hakim suci yang mendapat mandat dari Tuhan untuk membenahi dinamika sosial-politik kaum beragama. Namun harus kita tegaskan, jika agama sebagai konsep, tidak akan pernah bisa disalahkan. Seperti kata Socrates, manusialah yang salah. Adanya narasi sinis dan persepsi negatif atas sebuah agama tertentu, tidak serta merta terbentuk begitu saja. Dia terbangun dari konstruksi sosial karena ada pemeluk agama yang melakukan tindakan negatif di atas namakan perintah agama.

Namun, bentuk kritik terhadap pemeluk agama selalu ditafsirkan sebagai kritikan terhadap agamanya. Sehingga kritik dianggap sebagai suatu penghinaan yang melecehkan ajaran Tuhan yang final lagi mutlak. Dan menggilas penghina agama, kata sebagian orang, adalah tugas yang mulia, sebab membela agama Tuhan.

Objek bangungan itu, secara tidak langsung, menjadi stimulus yang membangunkan kembali memori kolektif masyarakat non-muslim tentang betapa “ganas”-nya umat Islam dalam menghadapi perbedaan. Meskipun, aksi intoleransi yang dilakukan umat Islam atas pemeluk agama lain yang disebut “kafir” hanya terjadi secara parsial, tetapi sebab tindakan yang melecehkan hak asasi itu—seolah—dilegitimasi oleh agama, maka agamanyalah yang dipandang bermasalah. Begitu pun, memori kolektif bukan soal narasi tentang realitas objektif. Ia hanya bagaimana cara masyarakat mengingat, bagaimana masyarakat menafsirkan sebuah peristiwa. 

Karena citra yang terpatri dalam ingatan masyarakat non-muslim terlanjur "ganas", maka sebagai bentuk alamiah mempertahankan diri, mereka termaksa untuk afirmasi. Memilih diam. Dari pada dipaksa bungkam atas dalih intoleran jika muncul narasi penolakan.

Hal ini, mengingatkan saya pada apa yang disampaikan oleh Buya Ahmad Syafii Maariif dalam orasi ilmiahnya di “Nurcholis Madjid Memorial Lecture” ke III yang diadakan oleh yayasan Paramadina tahun 2009 silam, tentang politik identitas dan masa depan pluralisme kita. Tema yang juga lekat dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang kaya akan keragaman, dan sebangun dengan peristiwa yang sedang kita bahas.

Berbeda dengan politik identitas sebagai gerakan kelompok minoritas yang mencari keadilan akibat tergerus gelombang dinamika zaman. Seperti feminisme yang getol mengampanyekan kesetaraan perempuan, upaya perebutan kembali hak oleh kelompok kulit hitam di Amerika dalam melawan diskriminasi rasial, atau upaya suatu bangsa untuk terbebas dari kolonialisme seperti yang terjadi di Indonesia. Tetapi, dalam kasus dewasa ini, yang terjadi justru sebaliknya. Bukan minoritas yang merebut identitasnya kembali, tetapi mayoritas yang mencoba men-“deidentifikasi” kelompok minoritas, baik secara simbolis yang melibatkan simbol atau atribut, maupun upaya resistensif seperti pembatasan gerak, penolakan dengan narasi karikatural, maupun pengusiran yang terkadang juga dibarengi dengan tindak kekerasan dan perusakan bangunan.

Lalu, mari kita berandai-andai apabila di Blora keadaannya justru dibalik; ketika di depan Gereja dan Kelenteng yang dipasang simbol agama Islam, berubah menjadi di depan Masjid dipasang atribut yang mewakili agama Kristen atau Konghucu. Apakah kita sebagai umat Islam akan marah? Atau bahkan juga demo berjilid-jilid atas nama penistaan agama? Jika jawabnya adalah Tidak. Lalu, apakah pluralisme itu artinya sinkretisme antara simbol-simbol keagamaan?

Memang, tidak ada ketegangan baik yang laten maupun yang manifes dan semoga juga tidak akan pernah ada. Namun, kata Onghokham, selama agama (agama apa pun itu) masih dianggap, atau menganggap diri sebagai kekuatan sosial-politik, maka kemungkinan besar dia akan menjadi kekuatan disintegratif.

Pluralisme tidak diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol atau kegiatan seremonial. Dia adalah paham yang dikatakan ada ketika perbedaan tidak melahirkan upaya dominasi dan diskriminasi—baik tersirat maupun yang mewujud dalam praktik sosial. Jika pihak minoritas masih menempati posisi subordinat, maka pluralisme yang sering dikampanyekan sejatinya masih berupa slogan yang kosong melompong. Bohong.


Komentar