Langsung ke konten utama

"Arogansi mayoritas” umat beragama

"Arogansi mayoritas” umat beragama

Jika dalam suatu kelompok yang masif terdapat beberapa golongan, dan satu di antara golongan lain ada yang bersifat dominan, kecenderungan akan melakukan intimidasi, kekerasan, dan tindakan yang merendahkan golongan yang minoritas akan jauh lebih besar. Kita analogikan seperti kasus pengeroyokan suporter bola (A) kepada suporter bola (B). Kecil kemungkinan akan terjadi tindak kekerasan jika di kedua belah pihak memiliki basis kekuatan yang sama. Dari kedua belah pihak akan berpikir dua kali untuk memulai perkelahian. Namun, sebab di salah satu sisi suporter bola (B) sedang “lemah”, keadaan akan sangat menguntungkan sisi yang lain, dalam hal ini suporter bola (A). Terlebih lagi, di dalam suatu kelompok sudah tidak ada lagi tanggung jawab individu, melainkan semua kesalahan dipukul rata pada golongan. Satu saja individu berbuat kesalahan, satu kelompok ikut terkena imbasnya. Sebab itu, di dalam kelompok individu akan merasa lebih leluasa melakukan tindakan yang melenceng dari norma.

Hal tersebut rasanya relevan dengan kondisi di Indonesia. Terlebih lagi, pada hubungan antara umat beragama, walaupun harus ditekankan "tidak semuanya". Sebab agama memang mampu untuk menjadi alasan dalam mendongkrak kerukunan, namun juga di satu sisi, bisa menjadi alasan dibalik sebuah kerusuhan. Agama adalah acuan untuk menggapai masyarakat yang terarah dan terstruktur, walaupun manifestasinya terkadang bertolak belakang. 

Mari kita lihat stereotip dan stigma yang melekat pada Islam yang segar dalam indra pendengaran kita sebagai agama yang “keras”, semenjak adanya aksi demonstrasi besar dan main hakim sendiri dari sekelompok organisasi masyarakat. Stigma "keras" tersebut, tentu tidak muncul begitu saja. Melainkan lahir dari konstruksi pikiran yang bersumber dari tindakan negatif yang dicontohkan oleh sekelompok yang mengatasnamakan umat Islam itu sendiri.

“Allahu akbar...!!”, takbir digaungkan dibarengi dengan pengrusakan fasilitas umum. Seolah Tuhan lah yang menyuruh kita untuk melakukan tindakan anarkis tersebut. Dengan alibi dakwah menyebar luaskan ajaran Islam, mereka bergerak sambil membawa pentungan dan massa yang banyak, seolah ingin mengajak perang. 

Mungkin masih kita ingat dengan aksi penutupan paksa warung makan saat bulan puasa, dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar, dengan menampik realitas seolah tidak ada orang non muslim, orang sakit, ibu menyusui, atau musafir yang kesulitan mencari makan. Padahal, sebenarnya warung makan tidak berpengaruh dengan puasa seseorang. Jika imannya kuat, warung tegalan tidak lebih dari godaan yang ringan. Jadi untuk apa dilakukan? 

Quote yang bertebaran kalau orang non muslim tidak membaca hadist, apalagi al-Quran, melainkan membaca tingkah kita sebagai muslim, layaknya kurang kita renungkan. Atas nama agama, kita bersembunyi dari kesalahan yang kita lakukan sendiri. Atas dasar agama pula, kita lantang memerangi musuh yang sebenarnya tidak ada. Hanya gambaran delusional. Musuh umat Islam yang nyata adalah umat Islam itu sendiri. Mereka yang nyembunyikan kejahatan di balik balutan agama. Lalu menyeru kepada jamaahnya untuk ikut berperang di jalan yang benar.tetapi tidak dijelaskan, jalannya di sebelah mana.

Bukankah, masjid Nabawi sebagai salah satu masjid yang sangat disucikan umat Islam saja pernah menjadi gereja? Saat 60 utusan Nasrani dari Najran ingin menemui Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam. Waktu kebaktian tiba, Rasulullah mempersilahkan 60 utusan tersebut untuk melaksanakannya di masjid Nabawi. Itu menjelaskan sifat toleransi antar umat beragama yang ditunjukkan oleh Islam, melalui Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam. Tapi dalam dewasa ini, mengapa banyak gereja dibakar atas nama agama? Mengapa pendirian rumah ibadah selain Islam dipersulit? Dan mengapa kegiatan ibadah dari non muslim harus mendapat persetujuan warga terlebih dahulu? Ironisnya, pembangunan minimarket tidak perlu serumit itu.

Dengan superioritas agama Islam sebagai agama mayoritas, tidak semestinya menjadikannya apologi bagi kita untuk bertindak arogan atas nama agama. Saya jadi teringat kata-kata Alm. Abdurahman Wahid, atau yang biasa kita kenal dengan sapaan Gus Dur, tentang tanda-tanda kerasnya hati:

"Kalau lihat geraja kamu takut imanmu runtuh, tapi saat baca al Quran, sedikitpun hatimu tak tersentuh"

Hmm... sebenarnya, masalah umat beragama yang bersikap arogan adalah masalah yang umum di tiap-tiap agama. Dan dalam Islam sendiri, para kelompok yang “bar-bar” didominasi oleh orang awam dalam hal agama yang dipeluknya sendiri. Jika memang “bar-bar” adalah manifestasi dari ajaran yang dibawa Islam, kaum santri lah yang seharusnya lebih bar-bar dan sering terlibat demonstrasi. Sebab santri memang belajar dalam mendalami ilmu agama. Nyatanya? Kaum santri justru santai-santai saja. Menyeruput kopi sambil melanjutkan hafalan kitab dengan kantong mata yang tebal.

Namun sayang, para kaum bar-barlah yang lebih cerewet di dunia nyata maupun dunia maya. Sehingga, tidak heran kalau masyarakat luar menjadikannya representasi umat Islam secara keseluruhan.

Yah... walaupun pada akhirnya tulisan ini tidak konklusif dan memberikan pesan aksiologis, tapi kalau boleh menjadikan apologi, apalah daya saya yang anak SMA ini; dengan segala kecetekan ilmu dan pengalamannya.


Komentar