Langsung ke konten utama

Omong kosong hari peringatan


Omong kosong hari peringatan

Hari peringatan, secara simbolis adalah upaya mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa historis penting di masa lalu, atau upaya menghargai upacara penting suatu agama. Namun, secara substantif, hari peringatan tidak lebih dari hari libur biasa yang dinanti para pelajar dan buruh yang telah lelah dengan rutinitasnya yang monoton. Tidak salah jika menyebutnya hari peringatan, sebab jika tidak libur, masyarakat mungkin tidak akan ingat. Jika sudah ingat, pasti akan sangat jarang terdengar pertanyaan: “Ini libur hari apa?”. 

Barangkali, peringatan tersebut tidak lebih dari omong kosong belaka pada pamflet yang bertebaran di sosial media. Dia hanya sebatas retorika yang esok harinya menguap entah ke mana. Tanpa ada usaha untuk masuk pada ruang kontemplasi di dalamnya. Tanpa ada pemikiran dalam diri, “mengapa hari ini harus diperingati?”.

Seperti peringatan hari lahirnya Pancasila. Berkali-kali telah diperingati, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih terkesan utopia. Masih ada jurang kesenjangan yang memisahkan antara ide yang terkandung dengan realitas yang ada. Jangan-jangan, Pancasila tidak pernah lahir. Dia Hanya alat politik untuk melanggengkan kekuasaan dan menjatuhkan lawan yang tidak sepemikiran. 

Sudah menjadi rahasia umum, jika saat ini para orang yang mengaku paling Pancasilais, di baliknya adalah orang-orang yang justru oportunistis. Menggunakan kedok Pancasila hanya sebagai topeng politik, untuk mendongkrak legitimasi, dan alasan kuat untuk memberantas para "penghalang" dengan memberinya cap "anti-pancasila". 

Dan ironisnya, beberapa dari mereka yang selalu menggaung-gaungkan Pancasila, pernah kedapatan tidak hafal kelima silanya. Mereka menempatkan diri sebagai representasi dari perwujudan nilai luhur daru kelima silanya, tetapi nyatanya—jika bileh menilai secara subjektif—tidak sama sekali; Pancasila berada di antara ada dan ketiadaannya.

Jika sila kesatu itu ada, Tuhan adalah satu-satunya yang di esakan. Bukan uang apalagi jabatan. 

Jika sila kedua itu ada, manusia tidak akan asing dengan kemanusiaan. Setiap hak-hak manusiawinya tidak akan ada yang dirampas, apalagi oleh negara. Kasus-kasus seperti Munir, Wiji Thukul, dan mereka orang-orang yang memperjuangkan kemanusiaan yang lain, tidak akan pernah menjadi korban atas apa yang mereka perjuangkan. 

Jika sila ketiga itu ada, polarisasi karena kemajemukan pemikiran akan terkesan kekanak-kanakan, perbedaan etnis atau kepercayaan tidak akan menjadi alasan dari perpecahan, dan plural adalah sikap yang dianut oleh setiap orang. 

Bukan justru mudah terpecah belah hanya karena masalah enteng seperti beda pilihan presiden, atau karena masih memelihara stigma negatif pada apa yang berbeda dengan identitas diri sendiri, seperti warna kulit atau agama yang dianut. 

Jika sila keempat itu ada, demokrasi akan dijunjung tinggi. Nilai keluhuran, kekeluargaan, dan akal tidak akan pernah ditinggalkan dalam mengambil keputusan. Hak-hak masyarakat dalam bersuara dan menyampaikan pendapat akan tetap dipertahankan, bukan justru dibungkam. Bukan malah menganggap kritik sebagai bagian dari rasa benci dan harus dimusnahkan. 

Hinaan terhadap lembaga institusional selalu dikaitkan dengan pembangkangan terhadap negara. Tanpa pernah introspeksi, kenapa hinaan itu bisa lahir. Jangan-jangan, para orang yang di dalamnyalah yang sebenarnya telah membangun hinaan itu. Namun, bukan malah berbenah, tetapi malah membuat undang-undang yang memidanakan orang yang menghina lembaga pemerintahan. Hmmm...

Jika sila kelima itu ada, impunitas pada para orang-orang borjuis tidak akan pernah ada. Kejahatan para pejabat tidak akan pernah ditutup-tutupi lalu dituduhkan pada orang yang tidak tahu apa-apa sebagai kambing hitam. Supremasi hukum akan ditegakkan. Hukum tidak tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Pasal 33 ayat 3 Undang Undang dasar 1945 akan dilaksanakan. Bukan masuk ke kantong pribadi penguasa, atau para pemilik modal saja. Apalagi, dikuasai oleh pihak asing sebab negara tidak mampu mengelolanya.

Hampir delapan dekade Indonesia merdeka, dan berkali-kali lahirnya Pancasila diperingati, bahkan setiap hari senin Pancasila tak luput dalam susunan prosesi upacara. Namun, apa yang dapat kira rasakan hari ini? Sebagai warga negara yang Pancasilais, jawaban saya: “banyak sekali” (S&K berlaku).

Sama halnya dengan hari guru yang tidak lebih dari hari libur tidak resmi, dan hanya berisi penyematan penghargaan (yang sama-sama tidak resmi pula), seperti: guru terfavorit, guru tercantik, guru terjudes, dll. Yang tentu saja, tidak ada hubungannya dengan kemajuan pendidikan di Indonesia. Atau barangkali, peringatannya hanya sebatas pada ucapan pamflet-pamflet belaka. Ironisnya, guru justru terlupakan di hari peringatannya—sebagai seorang pegawai. 

Selayaknya manusia dan seorang pegawai yang menuntut kesejahteraan, guru tidak butuh omong kosong “gelar” yang setelah satu hari terlewat, gelar itu kembali hilang.

Masih perlu tahunan bahkan puluhan tahun untuk guru mendapatkan jaminan dari negara. Bahkan, tidak berlebihan jika saya mengatakan ada guru yang sampai akhir hayatnya, tetap saja masih pada status lama: mengabdi tanpa ketetapan. 

Setelah nasibnya tidak jelas, masih ada pejabat yang menganggap guru honorer yang mengajar dengan sungguh-sungguh namun dengan gaji yangpas-pasan—yang lebih rendah dari kuli bangunan—dengan sebutan, “guru ilegal”. 

Sekali lagi, para pemegang kekuasaan masih terkesan lepas tangan. Bukannya membenahi dan memperjuangkan hak-haknya, guru hanya diiming-imingi ganjaran surga. Memang bagus, tapi dengan ganjaran surga tersebut, seharusnya juga diimbangi dengan ganjaran di dunia yang realistis. Surga urusan Tuhan, urusan pemerintah hanya memberi kesejahteraan. Atau pemerintah merasa menjadi Tuhan?

Aneh memang, guru yang dalam kasta ajaran Hindu berada di posisi tertinggi, bahkan melebihi raja, justru tertatih-tatih untuk dapat merasakan sejahtera. Dan yang lebih konyolnya lagi, Badan Kepegawaian Negara pernah kecolongan dengan memberi gaji pada 97.000 Aparatur Sipil Negara yang ghaib. Dibayar tapi tidak ada orangnya. Meskipun begitu, pihak terkait mengaku telah membenahi dan memutakhirkan proses pendataan. Namun, bagaimana dengan administrasi yang njelimet seperti RPP dan Silabus yang sampai berim-rim? 

Tugas utama guru adalah mengajar, Memberikan paradigma berkemajuan, menanamkan ketajaman pemikiran, memupuk kesetaraan dalam perbedaan, dan memberi arti konsep dari sebuah “kemerdekaan”. Bukan sibuk mengurus administrasi, hingga mengesampingkan substansi....

Guru yang memegang peranan krusial dalam kemajuan sebuah bangsa, seharusnya mendapat perhatian dan perlakuan yang istimewa. Oiya, saya lupa. Negara tidak mau ada banyak orang pintar, bukan? Hari pendidikan nasional pun, juga hanya sebatas pada webinar-webinar yang memimpikan pendidikan yang ideal. Gagasan-gagasan tersebut, hanya terwujud pada forum diskusi, tidak pernah saya rasa telah teraktualisasi. 

Porsi dana APBN untuk pendidikan yang paling besar—walupun juga rawan dikorupsi—masih saja belum mampu membuat pendidikan berubah. Bahkan menurut saya masih ada rasa era kolonial, di mana sekolah hanya sekedar upaya mencetak buruh terlatih yang mau dibayar rendah. Mungkin, saat ini menjadi sedikit berubah, seperti ajang birokrasi untuk mendapat ijazah lalu menjadi buruh. Ya, pendidikan yang tidak memerdekakan. Walaupun ada beberapa kali perubahan kurikulum yang saya alami, rasanya tidak ada perubahan revolusioner sama sekali. Walaupun pada ranah konsep berbeda, pada ranah aksi ya sama saja. Atau saya yang kurang peka?

Namun kembali lagi kita bertanya. Untuk apa kita selalu memperingati segala hal, jika tidak membawa dampak apa-apa? Hanya orang pecundang saja yang selalu mengafirmasi bayangan wajahnya dalam cermin bahwa dirinya hebat. Dan hanya orang pelupa dan apatis saja yang harus selalu diingatkan agar dirinya sadar, bukan? Jadi, untuk apa memperingati kalau tanpa dibarengi aksi. Toh kalau sudah beraksi, apakah harus menunggu satu tahun sekali? Coba dipikirkan lagi....

Haruskah menunggu hari lingkungan hidup untuk bisa peduli pada lingkungan? Haruskah menunggu hari kesehatan untuk bisa peduli dengan kesehatan? Haruskah menunggu hari anak untuk bisa peduli masa depannya? Haruskah menunggu harinya dulu, baru kita sadar dan berbenah?


Komentar