Teologi yang sekuler?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa agama dalam negara Indonesia menempati kedudukan yang membingungkan, walaupun nilai-nilai keagamaan ada di posisi pertama dari kelima sila dasar negaranya. Indonesia, bukan negara teokrasi yang menjadikan agama sebagai landasan hukum yang mutlak dijalankan masyarakatnya. Begitu pun juga bukan negara sekuler yang mengingkari ajaran agama yang dianggapnya hanya persoalan keyakinan individual saja. Indonesia, mengisi ceruk kosong di antara keduanya. Jika agama dan negara ibarat dua sejoli yang saling menaruh rasa, maka hubungan di antaranya adalah teman tetapi mesra. Lekat, namun tidak ada kepastian yang mengikat.
Dikala waktu, jalinannya begitu hangat, begitu intim, sehingga mampu merajut ikatan batin yang membopong “penjual agama” untuk naik ke kursi takhta. Namun bukan tidak mungkin hubungan mesra tersebut juga berubah menjadi sebaliknya. Ketika umat beragama telah murka dan merasa tersinggung hatinya, mereka bisa mengantar penguasa menuju senjakala kekuasaannya.
Kata orang, Indonesia bukan negara agama. Tetapi, Indonesia adalah negara “yang” beragama. Jangan lupakan ada kata “yang” sehingga maknanya menjadi berbeda. Dan mungkin, Indonesia adalah negara yang paling “sholeh” di antara negara lain di seluruh dunia. Layaknya pemuda yang baru saja “hijrah”, semangat beragamanya masih begitu membara. Hingga tak pelak, Indonesia mendapat predikat negara paling religius sedunia.
Kita sepakat segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Termasuk juga dalam ranah agama. Sebab tidak jarang, rasa terlalu semangat menebar kebaikan—dan mendakwahkan kebenaran agama—itu, justru teraktualisasi menjadi semangat untuk menyalahkan orang lain yang berseberangan. Agama pada akhirnya hanya menyimpan ketakutan yang bersembunyi pada asumsi-asumsi akan terjadinya fragmentasi yang memecah integrasi. Barangkali, kita hanya mentereng di luar sebagai agamawan yang menyampaikan pesan-pesan teologis, tetapi di balik topeng teologis itu, tersimpan wajah yang begitu sekuler dan ateis.
Agama mengajarkan untuk saling berbuat baik antar manusia dan menciptakan rasa aman, tetapi betapa banyak kerusuhan yang dilatar belakangi alasan iman. Agama berisi tuntutan untuk mengesakan Tuhan, tetapi betapa banyak agamawan yang mendua dengan menjadikan tampuk kekuasaan dan harta benda sebagai berhala; menggadai agamanya sebab agama adalah komoditas yang tidak pernah gagal menggaet massa. Agama adalah ringkasan dari realitas sosial yang ideal, tetapi banyak di antara para pemeluknya justru merefleksikan hal yang sebaliknya.
Mungkin, selama ini kita hanya menyembah simbol. Dan setan, sebagai representasi dari ego manusia yang buruk, dianggap sebagai jalan yang benar dari Tuhan dengan mengutak-atik teks suci guna mendapat legitimasi. Memang, Tuhan dan hantu sama-sama samar. Kadang ditakuti, kadang dengan congkak di tantang untuk menunjukkan eksistensi. Sesekali manusia bersimpuh meminta pundi-pundi harta sambil mengemis karena beban hutang yang tidak sanggup ditanggung lagi. Bedanya, jika yang satu dikabulkan dengan bekerja, yang lain dikabulkan dengan menyetor nyawa.
Jika Tuhan mau, semua orang di dunia mampu dibuatnya taat dalam agama yang tunggal. Tetapi, Tuhan tidak melakukan itu. Secara implisit, Tuhan menunjukkan kuasanya yang termanifestasi pada perbedaan. Perbedaan adalah niscaya. Dalam beda terjewantahkan maha kreativitas-Nya. Lalu, untuk apa bersusah payah membangun homogenitas, kalau lebih masuk akal jika kita fokuskan daya untuk membangun integrasi-interkoneksi-multikultural.
Betapa sering para pemeluk agama melahirkan para tuhan-tuhan palsu yang tertindas, yang diperbudak manusia, dan yang tidak merdeka. Bukankah konsepsi Tuhan dalam agama, Tuhan-lah yang maha kuasa? Barangkali, kita menyembah tuhan-tuhan palsu itu. Dan kita hanya menjalankan ajaran agama semu. Agamis dalam identitas, tetapi anti nilai-nilai keagamaan. Apakah kemudian, boleh saya sebut sebagai teologi-sekuler?
Komentar
Posting Komentar