Pembunuhan massal filsuf kecil
Anak adalah anugerah luar biasa dari sebuah keluarga. Bahkan satu orang anak, dapat "bermetamorfosis" menjadi penyebab perubahan pada sistem yang telah diterapkan pada sebuah negara; membunuh 6 juta manusia dalam satu komando yang keluar dari mulutnya; menaklukkan 1/3 luas permukaan dunia dengan kekuatan yang dimilikinya; menjadi pemimpin yang menyambung jutaan lidah masyarakat menjadi satu suara; dan banyak hal besar lainnya.
Dari peluruhan dua sel jantan dan betina, menjadi cikal bakal makhluk hidup multiseluler dengan 70 triliun sel yang esensinya transenden. Namun, potensi besar sang anak sebagai “penentu masa depan” terpaksa hilang, direbut paksa oleh aspek yang ironisnya paling dekat dengan kehidupan sang anak sendiri: keluarga. Aspek yang mampu konstruktif sekaligus destruktif dalam waktu bersamaan. Tetapi, muncul pertanyaan...
Tubuh anak, milik siapa?
Anak adalah pribadi yang merdeka. Dia adalah makhluk utuh dengan kebebasan yang melekat pada dirinya sejak dia dilahirkan. Orang tua adalah “sekolah”, pembentuk karakter dan sikap akan kebebasan anak yang beradap, kebebasan yang tidak arogan, kebebasan yang mempertimbangkan kebebasan orang lain. Anak bukan milik orang tua secara mutlak. Dia lahir dari keajaiban campur tangan “tangan Tuhan”. Tidak berlebihan, jika ada statement anak adalah titipan. Jika anak dipahami sebagai objek yang dapat dimiliki, tidak menutup kemungkinan, akan ada kekerasan dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang akan dilakukan oleh orang tua. Sebab, kita bebas melakukan apa saja kepada apa pun jika itu milik kita, bukan? Logika simplistis tersebut, akan sangat berbahaya bagi anak ke depannya.
Jika anak terkekang, dia bukan lagi manusia seutuhnya. Sebab salah satu unsur penyusun dirinya secara esensial (kebebasan) tidak sepenuhnya dia miliki. Jika hal itu terjadi, apa perbedaan antara anak dan juga boneka yang dia mainkan? Jika boneka tidak punya kemandirian dalam bergerak secara fisik, maka anak tidak punya kemandirian dalam berkembang dan menentukan keputusan. Begitu pun ketika...
Hutang perhatian, dibayar kontan.
Kebutuhan primer sang anak tidak hanya urusan perut dan penumpukan lemak. Sebagai manusia yang punya naluri untuk merasa aman dan kebutuhan akan rasa kasih sayang, orang tua yang “menghendaki” lahirnya anak memiliki kewajiban memberikannya secara penuh. Namun, sebagai manusia modern dengan sifat konsumerisme yang tinggi, uang adalah segalanya. Jika uang tidak ada, bagaimana kebutuhan anak akan tercukupi? Namun, statement tersebut, dipahami secara parsial. Lupa tujuan untuk apa sebenarnya kita mencari uang. Dari sikap tersebut, uang adalah tujuan, bukat alat untuk menggapai kebahagiaan. Anak hanya menerima perhatian dalam bentuk lembaran-lembaran kertas yang dapat ditukarkan apa pun yang dia inginkan. Tapi dari hasil “susah payah” kita tersebut, justru hanya akan dirasakan sebagai sebuah kehampaan.
Sebagai manusia alamiah, jika wujud perhatian itu tidak didapatkan, akan menimbulkan rasa ketersiksaan. Kita menyadari akan hal itu. Tetapi uang adalah nomor satu. Hutang perhatian, dibayar kontan dengan menyewa pengasuh dalam wujud manusia yang menyayangi bukan dari hati. Atau bisa juga pemberian pengasuh dalam wujud benda mati, yang bisa menjadi dunia imajinasi, sebagai tempat pelarian akan rasa kesepian yang dialami. Gawai, adalah jurus jitu yang murah, efektif, sekaligus destruktif.
Jika anak diasuh oleh benda mati, atau orang yang merawat bukan dari hati, jangan salahkan jika anak kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya sejak dini. Dia akan menjadi makhluk hidup yang "tidak bernyawa". Namun anehnya, masih ada di antara kita yang memarahi anak sebab kecanduan gawai sebagai kesalahan mutlak sang anak. Kita lupa, jika anak kehilangan perhatian dari sumber utamanya (keluarga), dia akan mencari perhatian dari sumber yang lainnya, tidak peduli dari apa pun itu, guna mendapat pengakuan akan eksistensi dirinya di dunia. Jika anak sampai melakukan hal tersebut, kita seharusnya bercermin, "sudahkah kita mengakuinya?" Mungkin saja, kita hanya menjawab iya dalam lisan, tetapi hanya memberi...
Kasih sayang delusional.
“Aku memukul karena sayang”, mindset perwujudan akan rasa kasih sayang yang sangat salah kaprah. Seolah kasih sayang selaras dengan hukuman. Semakin sayang, akan semakin kejam menghukum. Jika sayang termanifestasi dengan kekerasan, akan semengerikan apa wujud tanpa kasih sayang? Jika kasih sayang memang benar bisa termanifestasi menjadi kekerasan, maka membunuh adalah puncak dari kasih sayang. Sebab tindakan tersebut, bisa menghentikan penderitaan anak selama bertahun-tahun kedepan saat itu juga. Bukankah demikian?
Kasih sayang bukan hal rahasia yang dilarang diketahui oleh sang anak. Dia harus ditampakkan. “Aku ini sebenarnya sayang...”, adalah ucapan orang tua yang gagal menyayangi, atau wujud kasih sayangnya diberikan dengan cara yang salah. Kasih sayang adalah penilaian yang diakui kedua belah pihak. Jika hanya satu pihak saja yang mengaku, dia adalah kasih sayang palsu. Hal itu diperparah dengan...
Egosentrisme pengasuhan.
Anak adalah refleksi dari kualitas orang tua. Sifat-sifat dasarnya diwarisi dari kode genetik induknya. “Buah tak jatuh jauh dari pohonnya”, peribahasa yang relevan untuk menganalogikan hal ini. Namun, ego lebih besar dari pada rasa kesadaran akan penilaian diri. Pembandingan anak hasil darah daging sendiri, masih sangat sering terjadi. Secara tersirat, tindakan ini akan membangun kesadaran jika anak tidak punya identitas. Dia kehilangan identitasnya sebagai “seorang anak” sebelum dia bisa seperti apa yang ego kita harapkan. Harapan-harapan idealis ini akan tetap menjadi utopia jika hanya menjadi rentetan ucapan retorika. Anak hanya menjadi subjek yang merepresentasikan segala hal jelek dan rasa putus asa. Secara terus menerus, akan tidak mustahil untuk sang anak menyampaikan pertanyaan, “untuk apa aku dilahirkan di dunia?”
***
Pemikiran kuno yang salah kaprah tersebut, masih banyak kita temui, atau bahkan mungkin pernah kita alami. Namun, tidak perlu menjadi hakim atas kesalahan orang tua barangkali dahulu mereka melakukannya. Setiap tindakan tersebut, pasti memiliki akar penyebab yang kuat. Mereka bisa disebabkan oleh latar belakang ekonomi yang kurang berkecukupan, rendahnya akses ilmu pengetahuan, minimnya wawasan, pengalaman negatif atas tindakan yang diwariskan, dll. Musuh kita adalah faktor penyebab mindset kuno itu bisa terbentuk. Jika kita bersikap konservatif, mengulang hal yang sama, walaupun menyadari jika hal itu adalah salah, lalu apa bedanya?
Jika kita teruskan, kita hanya akan melahirkan manusia-manusia yang enggan bersuara, manusia yang selalu diam mengikuti arus guna tetap merasa aman, manusia hipokritis dengan sopan di dunia nyata namun tak beretika di dunia maya, manusia yang individualis dengan melakukan segala cara guna bertahan hidup walaupun harus membunuh sesamanya, manusia-manusia palsu, manusia yang terasing dengan kemanusiaan.
Memang, judul tulisan ini terkesan hiperbol. Dan sebab-akibat yang penulis paparkan tidak menunjukan hubungan kausalitas yang kuat. Penulis tidak bermaksud menggurui dan mendorong untuk menyalahkan orang tua terdahulu. Kita sebagai calon orang tua, atau barangkali sedang menjadi orang tua harus mau memutus lingkaran setan yang terus menerus terulang. Kita salah, jika sampai anak cucu kita merasakan penderitaan yang mampu kita cegah.
Tugas kita di dunia tidak hanya bereproduksi. Konsekuensi logis dari kegiatan biologis tersebut tidak hanya melahirkan bentuk fisik dari anak, melainkan juga melahirkan bentuk tanggung jawab.
Anak, sejatinya adalah filsuf-filsuf kecil yang selalu haus akan hakikat dari segala hal yang ditangkap oleh indranya. Anak adalah seorang pelajar yang benar-benar polos, yang menurut Begawan Sastrawan Pramodya Ananta Toer, pelajar harus bersikap adil sejak dalam pikiran. Namun, bagaimana mengonstruksi keadilan dalam kepala, jika anak sudah dibunuh sejak dalam pikirannya?
Mungkin, apa yang penulis paparkan tidak bisa memberikan solusi secara konklusif. Namun, satu hal penting yang harus kita sadari, jika masa depan anak terlalu berharga dan tidak pantas untuk dikorbankan, hanya karena kebodohan dan "kedunguan" sebab buruknya kualitas kita sebagai orang tua.
Aku setuju, ini hal yang akrab sekali pada kehidupan dewasa ini. Namun, orang tua zaman dahulu juga tidak bisa disalahkan (sama seperti paragraf akhirmu) dan sudah seharusnya kita membunuh tradisi-tradisi itu. Lalu bagaimana cara agar kita tidak mendendam pada pola pengasuhan orang tua yang sudah telanjur mengakar itu?
BalasHapussetuju
BalasHapus