Langsung ke konten utama

Menyoal tes PERADES, Blora memang butuh pemimpin radikal


Adanya dugaan kecurangan tes perangkat desa (PERADES) yang masif (serta sistematis?), memang menjadi sesuatu hal yang menjengkelkan. Tetapi, fenomena seperti itu, bukan hal baru yang mengejutkan. 

Meskipun tidak semua orang merasa dirugikan oleh dugaan kecurangan tes PERADES ini, tetapi jika kecurangan itu sampai terbukti, berarti semakin benar asumsi yang berkata bahwa para politisi dan pemegang otoritas di negeri ini sangat krisis integritas, empati, dan kompetensi. mengingat, indikasi kecurangan itu menjalar kesegala lini, tanpa mengenal domisili.

Tetapi, desas-desus tidak pasti tentang kecurangan itu tetap ada baiknya. Ya... hitung-hitung menjadi topik obrolan yang seru dalam skala warung kopi, yang menambah rekat hubungan komunikasi serta menggugah kesadaran berpolitik rakyat. Bukankah, kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas pelaksananya, yang tidak lain adalah rakyat itu sendiri?

Nah, sialnya, kita sebagai warga negara yang baik, tetap harus berpegang teguh pada asas “praduga tidak bersalah”, seperti arahan Bupati. Walaupun saya sebenarnya jengkel betul pada asas “sakti” itu, apalagi jika digunakan tidak pada semestinya.

Bagaimana tidak, asas itu pada akhirnya seolah digunakan sebagai alibi, ketika keluhan masyarakat telah riuh menggema, baik di ruang publik maupun di ruang maya.

Dan saya menjadi curiga, asas “praduga tidak bersalah” itu, mengandung pretensi lepas tangan (atau cuci tangan?) dari carut marutnya perpolitikan yang ada di Blora—yang politikusnya menerapkan asas machiavellian ini. 

Sebab, jika melihat dari pengalaman, ketika ada rakyat yang meminta pengusutan, mereka justru ditimpali dengan tantangan untuk menemukan bukti kecurangan. Jawaban yang sangat naif untuk sekelas politisi yang memiliki kedudukan strategis.

Padahal, jika menilik pada Peraturan Bupati Blora Nomor 37 Tahun 2017 Bab IV tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengisian Perangkat Desa pasal 32, Bupati melalui Keputusan Bupati membentuk Tim Pembina dan Pengawas. Dan memiliki tugas serta kewajiban yang tercantum pada Perbub yang sama pasal 34 dan 36, yang intinya memiliki tugas mengawasi dan menerima laporan indikasi kecurangan.

Tetapi kewajiban mengawasi itu, bisa dikatakan “kecolongan”. Sebab sampai masyarakat turun ke jalan pun, pihak yang bersangkutan masih stuck menggunakan asas “praduga tidak bersalah”.

Ironisnya, semua kebutuhan dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pihak yang mengawasi dan membina (dengan baik dan benar), ditanggung oleh dana APBD, seperti yang tercantum pada Perbub yang sama, pasal 35 dan 37.

Kalau boleh saya katakan, bahwa saya dan rakyat Blora yang lainnya, sama halnya dengan membayar orang yang tidak bekerja, jika sampai dikemudian hari, memang ada praktik manipulasi. (kalau boleh mengatakan, kalau tidak ya tidak apa-apa)

Pada akhirnya, saya malah dihadapkan pada sebuah kebingungan. Jadi, siapa di sini yang sebenarnya dituntut untuk proaktif? Apakah Pemkab dengan tim pengawas serta pembina yang dibayar untuk melakukan tugasnya, atau masyarakat yang sangat riskan dalam pergulatan hukum melawan oknum yang mempunyai kuasa? (ah, saya benci menulis kata “oknum”)

Kebingungan saya juga tidak hanya berhenti sampai di situ; ketika Bupati, dalam jumpa pers-nya, mengatakan bahwa pemilihan, pengangkatan, dan pelantikan perangkat desa adalah “murni wewenang” kepala desa.

Hal ini mengacu pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bagian kelima pasal 49 ayat 2, yang anehnya berbunyi : “Perangkat Desa....diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati”. Jadi, pernyataan Bupati dalam jumpa pers itu terkesan kontradiktif. Namun, praktik lempar batu sembunyi tangan seperti ini, memang acapkali terjadi di negeri ini, bukan? Tapi dalam hal ini, sebagai bentuk upaya cari aman, saya menggunakan asas “praduga tidak bersalah”.

Terkait hal yang aneh tentang “murni wewenang desa” juga bisa kita lihat pada Perda No 6 Tahun 2016 Paragraf 2 pasal 18 Ayat 5-8, yang berisi bahwa Camat sebagai bagian tim pengawas  bisa memberikan rekomendasi penolakan disertai alasan-alasan, membatalkan Keputusan Kepala Desa, dan melaporkan rekomendasi kepada Bupati dengan tembusan kepala satuan kerja perangkat daerah yang membidangi pengawasan pemerintahan.

Artinya, keputusan Kepala Desa tidak Absolut. Dan jika memang terjadi kecurangan yang dilakukan oleh Kepala Desa, tetap bisa diintervensi oleh hierarki otoritas yang lebih tinggi. Permasalahnnya adalah, indikasi-indikasi kecurangan tidak akan diketahui jika pengawas dan pembina hanya berperan sebagai objek pasif. Tentu, ini menjadi konsekwensi logis, bukan?

Ah... saya jadi teringat perkataan Buya Ahmad Syafii Ma’arif, yang menganalogikan ruang politik praktis sebagai “kolam lele”. Kotor. Dan penghuninya, suka yang kotor-kotor. Meskipun politik, berangkat dari hal yang sangat mulia; yaitu kemslahatan bersama. Tetapi, semenjak politik yang  tadinya berorientasi pada public interest tiba-tiba menjelma menjadi akumulasi dari conflict interest, maka kemuliaan itu menjadi mitos retorikal semata.

Dan, jika kita berkaca pada sejarah, pengalaman seperti ini sudah membalung sum-sum di negeri kita. Terbukti dari sebelum sampai sesudah Reformasi tahun 1998, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, masih saja lestari. Jangan tanya lagi tentang supremasi hukum hari ini atau atau dwifungsi ABRI yang hanya bertransformasi pada cara, tetapi tidak hilang sama sekali; semuanya, sama-sama sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Tentu,  kita tidak perlu terjebak pada romatisme masa lalu. Toh, para politikus kita sampai hari ini pun masih tetap abai pada tuntutan rakyat kala itu. 

Dan melihat realitas politik di negara kita khususnya Blora, melalui kemelut tes perangkat desa yang rumit serta pelik, kita sebenarnya butuh pemimpin (sekaligus politisi?) yang radikal.

Bukan radikal dalam maknanya yang peyoratif, tetapi radikal dalam maknanya yang leksikal. Yaitu, mereka yang—kata Hasan Hanafi—mampu mendekonstruksi tradisi  yang telah mengakar kuat di negeri ini, lalu mengembalikan the ethical ke dalam the polithical.

Seperti kita tahu, benang kusut perpolitikan kita tidak hanya terjadi pada ranah prosedural maupun konstitusional saja, tetapi juga sudah menjangkiti aspek fundamental, yaitu perkara mental para pelaksananya.

Oleh karenanya, kita butuh pemimpin Radikal! (dengan R besar)

Namun, melihat indikasi-indikasi yang terjadi pada tes PERADES kali ini, dan mengingat betapa slogan "revolusi mental" gagal sama sekali, apakah  nanti, dikemudian hari, semesta akan merestui?

Komentar