Langsung ke konten utama

Dari sentimen agama, hingga intervensi elite global

 

Dari sentimen agama, hingga intervensi elite global

Setiap orang pasti mendambakan sebuah kemajuan. Begitu pun kesejahteraan dan keadilan. Namun utopia tidak dibarengi dengan paradigma yang berkemajuan juga. Dan malas berfikir adalah faktor utama hambatan menggapai utopia tersebut. Ditambah dengan cara berasumsi masyarakat dengan premis yang tidak masuk akal dan landasan kesimpulan yang salah kaprah.

Salah satu contohnya adalah sentimen agama dalam menanggapi fenomena yang tidak mampu kita jabarkan. Apa pun fenomena yang belum kita pahami, jawaban di garda terdepan pasti akan menyangkut agama: “Banjir di kota ini sebab pemimpinnya dzolim.” “Wah, pohon ini keluar air, bukti kebesaran Tuhan.” “Ini sudah takdir Yang Maha Kuasa.”; Sejak kapan banjir disebabkan pemimpin yang dzolim? Bukan karena penyumbatan aliran sungai oleh sampah yang dibuang sembarangan? Agama seolah dijadikan alibi oleh permasalahan yang ditimbulkan masyarakat sendiri, padahal tidak ada korelasinya sama sekali. Dan penguasa dijadikan kambing hitam sebab punya wewenang dalam tata kota, tapi mau diurus bagaimanapun, kalau masyarakatnya masih buang sampah di sungai, ya percuma. Lalu jika berbuat aniaya dikit-dikit bilangnya “Takbir!!!” (Kalimat takbir seolah bukan lagi kalimat yang sakral).

Lalu jika ada sebuah fenomena yang tidak masuk akal (bagi masyarakat awam) jawaban yang paling umun dilontarkan adalah “kekuasaan Tuhan”. Tidak salah, tapi perlu diingat pula, segala bentuk dimensi di alam semesta adalah manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Jika kita hanya menyadari bahwa kekuasaan Tuhan mampu mengeluarkan air dari pohon, kita telah mendiskreditkan kekuasaan Tuhan itu sendiri. (Plis lah, mbok ya mikir, seolah Tuhan cuma bisa ngeluarin air dari pohon saja)

Namun jawaban dari sentimen agama yang paling saya benci adalah “Sudah takdir”. Bayangkan, jika Isaac Newton melihat apel jatuh dari pohon, tapi tidak mengkajinya lebih dalam sebab sudah merasa puas dengan jawaban “Sudah takdir”. Bayangkan juga jika Jabir bin Hayyan, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, dan tokoh-tokoh ilmuan muslim yang lainnya, ketika menghadapi sebuah permasalahan yang ditemui hanya menjawab “Sudah takdir”.  Ilmu pengetahuan akan mandek, kemajuan pemikiran akan stagnan, dan Islam tidak akan sebesar sekarang.

Sentimen agama tidak satu-satunya jawaban dari orang yang malas berpikir. Jawaban yang tidak masuk akal lainnya adalah “elite global”. Padahal, elite global muncul dari sistem ekonomi kapitalisme. Sebab kebijakan pemerintah tidak bisa luput dari intervensi pemilik modal raksasa. Namun, bagi para konspirator yang rujukan premisnya hanya berupa “katanya...”, elite global berubah menjadi organisasi rahasia yang ingin menguasai dunia.

Bumi datar adalah tema bahasan yang tidak luput dari nama “elite global”. Namun perlu di ingat bahwa bumi bersifat empiris, artinya terbuat dari materi dan mampu dicapai indra. Kita bisa mengukur diameter, kecepatan rotasi, dan tetekbengeknya. Namun, bagi masyarakat yang enggan menempuh metodologi ilmiah, pastinya akan mencari jawaban tanpa perlu usaha yang merepotkan.

Jawaban “elite global” tidak perlu merumuskan masalah, mengumpulkan informasi, menyusun hipotesis, melakukan percobaan, menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Cukup berbekal “katanya...” teori bisa langsung didapat. Walaupun teori yang dimaksud sebenarnya baru hipotesis atau asumsi, tapi bagi para konspirator gagasan-gagasan minim bukti tersebut tetap dianggap “teori”. Padahal teori itu sudah terbukti dan mampu dibuktikan. Teori pitagoras misalnya. (Teori konspirasi itu bukan teori, tapi asumsi atau hipotesis, ingat...!!!)

Agama adalah doktrin, tidak bisa dibantah, sebab itu banyak yang menggunakan sentimen agama pada perdebatan yang sebenarnya tidak perlu menggunakan agama. Dalam kasus ini agama tidak lagi sebagai hal yang sakral dan transendental, tetapi kedudukannya sudah setara dengan pseudoscience seperti halnya ilmu kejawen. Kasus ini bisa terjadi akibat oknum yang secara arogan mengklaim jika gagasannya sejalan dengan gagasan agama (lebih tepatnya dia merasa agama yang sejalan mengikuti ucapannya). Dalam perdebatan bentuk bumi, para penganut konspirator tidak jarang menggunakan Hadist dan Al-Quran yang ditafsiri sembarangan. Dengan klaim “kalau saya salah, berarti Al-Quran juga salah”. Orang-orang seperti itu yang menyebabkan banyak masyarakat awam memilih atheis atau yang paling ringan memilih sekuler dalam hal agama. Sebab tanpa disadari, oknum tersebut telah memberi stempel pada agama “khususnya” Islam bahwa agama ini tidak rasional.




Komentar

  1. Mantappp. Satu triliun jempol untuk pemikiranmu.

    BalasHapus
  2. Suka yg pas di, tetekbengek nya 😁
    Mantapp lah untuk karyanya. Semangat kedepan nya gays

    BalasHapus

Posting Komentar