Koruptor lahir dan tumbuh dari sekolah
Praktik korupsi di Indonesia seperti kasus Jiwasraya, kasus E-KTP, kasus proyek Hambalang, kasus BLBI, dan tentu saja masih banyak lagi kasus-kasus lain—dan akan terus muncul kasus baru—memang sangat menjengkelkan. Kendati demikian, ia sama sekali bukan fenomena yang “mengejutkan”. Sebab tidak hanya lahir sebagai permasalahan kontemporer yang baru saja dilahirkan. Tetapi telah lama ada bahkan jauh sebelum era kemerdekaan. Menciptakan pertanyaan: mengapa orang seperti itu selalu eksis di setiap zaman, dan seolah tidak pernah punah dalam runtutan sejarah panjang peradaban?
Mari kita berspekulasi, membiarkan pikiran liar dan suuzan mengambil peran saat ini. Mencari "kambing hitam" mengapa budaya korupsi seolah mengakar kuat di negeri ini. Cukup berspekulasi. Sebab “memberantas” adalah tugas yang berat. Butuh integritas. Berbeda dengan hanya mengacungkan jari telunjuk ke pihak lain. Dan saya menaruh curiga, jika lembaga pendidikan kitalah pelakunya. Lembaga yang secara ironis diasuh oleh pemerintah itu sendiri.
Sebab biasanya, secara tersirat sekolah—baik sengaja maupun tidak—menanamkan dan mewajarkan pola pikir korupsi kepada anak didiknya. Hal ini diwakili oleh budaya menyontek, sebagai bentuk manipulasi kumpulan angka (nilai), bentuk kecil dari koruptor yang juga manipulasi kumpulan angka (uang). Dan keduanya memiliki kesamaan; sama-sama menjengkelkan, tetapi juga tidak “mengejutkan”.
Maka berangkat dari hal yang sama, pola pikir manipulatif dan tidak jujurnya para pejabat korup, sejatinya berawal dari pola pikir manipulatif dan tidak jujurnya para siswa yang hobi menyontek. Menengok budaya menyontek wajar terjadi, maka akan menjadi konsekuensi logis jika banyak pelaku korupsi ditemui di negeri ini. Mari negative thinking, kalau nilai ulangan/ujian yang implementasinya tidak jelas saja dimanipulasi, bagaimana dengan uang yang mampu menyejahterakan diri sendiri?
Terlebih, hal ini didukung oleh kegagalan dalam mencari alasan mendasar mengapa masyarakat harus belajar. Sehingga, sebagian dari siswa saat ditanya: “mengapa kamu sekolah?” maka jawabnya: “untuk mencari kerja”, bentuk lain dari jawaban: “memperkaya diri sendiri”. Tanpa ada etos tanggung jawab untuk mengamalkan ilmunya supaya dapat berguna seluas mungkin untuk masyarakat. Atau setidaknya, mendalami ilmu pengetahuan tertentu, lalu membuat terobosan baru, agar ilmu pengetahuan sebagai penyokong peradaban tidak hanya “jalan di tempat”.
Begitu pun dengan sekolah yang biasanya juga hanya terfokus pada nilai, nilai dan nilai. Nilai yang paling utama. Proses mendapatkan nilai tidak begitu penting. Bentuk yang kongruen dengan perilaku pejabat yang hanya berorientasi pada uang, uang, dan uang. Uang yang nomor satu—bukan Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah menjabat adalah sebuah pekerjaan? Maka tidak salah kalau hanya mengharap gaji dan tunjangan.
Maka kegagalan dalam landasan pemikiran siswa tersebut, juga akan terbawa jika sampai ia menjadi pejabat, yang menafsirkan jabatan sebagai sebuah pekerjaan, bukan sebuah tanggung jawab kepada masyarakat. Sehingga, orientasi tindakannya adalah mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya, bukan bagaimana cara berkontribusi sebanyak-banyaknya.
Mungkin masih segar di dalam ingatan kolektif masyarakat kita, tentang TWK yang pada akhirnya membebas tugaskan tujuh puluh lima pegawai KPK beserta kasus yang sedang digelutinya. Dengan dalih yang cukup irasional, bahwa pegawai yang dibebas tugaskan tersebut, terindikasi masuk jaringan transnasional. Lalu, apakah peristiwa ini memiliki korelasi dan hubungan kausalitas dengan bangku pendidikan sekolah?
Saya kira, jawabannya adalah: “iya”. sebab term “Berani Jujur Pecat” atau “Berani Jujur Sikat” terasa begitu relevan dengan kehidupan sekolah sebagai miniatur dalam bermasyarakat. Mari membayangkan jika dalam satu ruangan ujian terjadi praktik menyontek yang tidak diketahui oleh pengawas. Lalu dengan inisiatif seseorang siswa melaporkan tindakan tersebut. Dan bisakah kita memproyeksikan apa yang akan terjadi? Hasilnya, justru pelaporlah yang mendapat sanksi sosial dengan dikucilkan oleh teman-temannya, dirundung sebab tidak mampu menjaga rahasia, bahkan sampai yang paling parah juga akan mendapatkan tindakan kekerasan, sebagai upaya represif yang dilakukan oleh siswa penyontek dengan alibi demi bisa lulus dalam ujian—yang pada akhirnya melestarikan budaya manipulatif dan ketidakjujuran semakin mengakar kuat sejak dalam bangku pendidikan.
Namun, apakah sekolah tidak mengupayakan pemberantasan "bibit koruptor"? Mungkin, dalam pikiran sudah ada niatan, tetapi belum sepenuhnya termanifestasi pada tindakan—sebab memang implementasinya tidak sesimplistis yang dibayangkan. Peserta menyontek waktu ujian pun biasanya mendapatkan pengampunan. Seperti apological treatment yang dilakukan oleh para oknum pengawas ujian, dengan mengucapkan: “silahkan, dulu kami pun juga melakukan tindakan demikian, yang terpenting tidak menciptakan kegaduhan”.
Jadi tidak heran, kalau di Indonesia para koruptor bukan mendapat hukuman yang akan menjerakan, tetapi justru mendapat pemotongan masa tahanan. Malah rencananya juga akan mendapatkan jabatan, sebagai penyuluh anti korupsi dari lembaga pemberantas korupsi itu sendiri. Barangkali KPK saat ini telah bertransformasi—sebab pandangan dan pemikiran memang dinamis—dengan menganggap koruptor masih memiliki sisi kemanusiaan, bukan pihak yang mutlak harus dimusuhi dan dimusnahkan, baik pikiran liciknya maupun bentuk perwujudannya. Sehingga ada kemungkinan untuk bertobat dan menjadi penceramah layaknya da'i yang baru saja pindah agama—yang menjelek-jelekkan agama sebelumnya. Meskipun begitu, mau bagaimana pun tetap saja kontradiktif. Apakah jengkel? Pasti iya. Apakah kaget? Tentu tidak!
Memang, ini adalah masalah individual siswa, tetapi sekolah sebagai bentuk pendidikan yang terlembaga, seharusnya juga menaruh perhatian lebih pada pembentukan paradigma siswa. Sebab, paradigma siswa pada awal masa tumbuh kembangnya berdampak besar pada masa depan yang tidak hanya berimplikasi pada dirinya saja, tetapi juga orang di sekitarnya, bahkan mungkin juga negaranya. Maka, kerangka pemikiran dan mindset yang berkemajuan, sangat menempati posisi yang krusial.
Tindakan yang mengesampingkan kurikulum untuk menanamkan paradigma transformatif kepada siswa, juga turut andil bagian besar pada pembentukan kultur destruktif jangka panjang ini. Apalagi diperparah dengan tipikal mob mentallity siswa dengan ikut-ikutan menyontek hanya karena teman-temannya juga menyontek. Jika hal ini terus berlangsung, maka tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa idealisme anak mati justru di bangku sekolah itu sendiri. Padahal, idealisme menurut Tan Malaka adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, bukan?
Jadi, tidak perlu gembar-gembor hukum mati para koruptor, jika akar masalahnya saja masih terus dipelihara bahkan tetap dibudidaya. Jika paradigma berkemajuan telah tertanam sejak di bangku pendidikan, dan anak sudah dibiasakan etos tanggung jawab serta rasa malu bahkan sejak dalam pikiran, tentu korupsi bukan lagi sebuah permasalahan zaman.
Namun sekali lagi, tidak sesimplistis itu. Kompleksitas permasalahan dan faktor penghambat yang memang tidak ringan menjadikan gambaran akan sistem pendidikan yang ideal seolah hanya ada dalam angan...
Komentar
Posting Komentar