Seragam sekolah: komunisme yang setengah-setengah
“Seragam adalah simbol ketertindasan.” Sebuah gagasan yang menggelitik realitas dari tetangga Spongebob Squarepants, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Squidward Tentacles. Selain menjadi mas-mas SJW yang membela nasib buruh, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kaum borjuis di bikini bottom yang direpresentasikan oleh Mr. Krab, dia juga berhasil membawa saya pada ruang kontemplasi yang mendalam dan membuat saya bertanya tentang, “Apa fungsi seragam?”
Banyak di antara kita yang mungkin langsung menjawab “penyamarataan kasta.” Supaya si kaya dan si miskin tidak ada sekat pembatas dan membaur dengan semestinya. Tapi apakah relevan? Seragam tidak lebih hanya urusan baju dan celana, serta emblem tambahan yang sudah jadi pelengkapnya. Tapi bukan hanya itu yang melekat pada tubuh siswa. Banyak aksesoris lain yang luput dari “keseragaman” dan mampu merepresentasikan kesejahteraan pemakainya. Sepatu dan tas contohnya. Dengan sekejap mata, tanpa harus menjadi cenayang, kita bisa tahu mana siswa yang kaya dan mana yang kismin hanya dari seberapa bagus sepatu dan tas yang dibawa.
Jika kita berandai-andai, sekolah hanya boleh memakai seragam, sepatu, tas, dan aksesori sekolah yang sama pun, kita masih bisa membedakan mana si kismin dan mana si kaya dengan cara melihat detail dari pakaiannya. Si kaya akan memiliki warna seragam yang cerah, bersih, dan wangi. Seolah dia beli seragam baru setiap hari. Namun yang miskin lahir batin pasti kebalikan dari itu semua dengan berbagai alasan. Entah sebab pemberian orang, warisan dari kakaknya, atau bekas dipakai nguli.
Tidak sampai disitu, kesenjangan bahkan masih terlihat paska kegiatan belajar mengajar. Siswa yang miskin lahir batin pasti hanya akan jalan kaki, naik angkot, atau syukur-syukur naik sepeda motor butut. Sedangkan si kaya pasti pulang dijemput naik mobil, menyewa travel, atau barangkali helikopter pribadi.
Penyamarataan jadi terdengar ambivalen. Belum lagi ada misi kapitalisme dari pihak koperasi (tapi tidak semua sih) yang menjadi pihak oportunis ketika ada siswa yang ketahuan tidak disiplin (tidak membawa dasi atau sabuk). Yah.... mau tidak mau uang jajan yang jadi tumbal. Demi melengkapi pakaian yang mengusung “penyamarataan”. Efek jera hanya dirasa siswa proletar, sebab bagi kaum borjuis, uang beli perlengkapan seragam tidaklah seberapa. Ya begitu, seolah hukum hanya memihak pada siswa yang kaya saja, kalau efek jera adalah orientasi utama dari hukuman yang dilaksanakan, kan? (Tapi tidak semua sekolah lho ya...; tapi biasanya begitu...)
Banyak variable yang dapat mengukur sejauh mana kesejahteraan siswa. Dari seberapa glowing wajahnya, seberapa enak bekalnya, sampai seberapa mencolok penampilannya. Mau bagaimanapun, kemiskinan siswa proletar tidak bisa disembunyikan. Seragam hanya penghapus kelas/kasta abal-abal (fiks, seragam hanya sok komunis). Urgensi seragam menjadikannya sebuah pertanyaan.
Bagi saya, aksi corat-coret seragam waktu kelulusan adalah euforia dari kebebasan akan ketertindasan oleh seragam. Wujud-wujud kemenangan itu dimanifestasikan dengan merusak tampilan fisik seragam yang dipakai. Coba kalau sekolah tidak punya seragam, pasti budaya corat-coret tidak akan ada. Barangkali corat-coretnya pindah menjadi vandalisme di gedung sekolah. Karena siswa tetap butuh wujud pelampiasan. Dan gedung sekolah mungkin menjadi opsi sasaran alternatif yang merepresentasikan “ketertindasan”.
Jadi, apakah seragam itu penting?
Mau penting atau tidak, yang terjelas, seragam telah gagal menggapai kesamarataan pada siswa. Jika tujuan utama dari seragam adalah penghapus sekat kasta. Mengapa tidak dihilangkan saja? Bukankah lebih baik mengajari anak tentang realita? Agar yang kurang mampu lebih berbesar hati dan yang sejahtera menahan akan arogansi diri. Kan?
Komentar
Posting Komentar