Mengapa sekolah tidak mengajari kita berpikir?
Waktu masih kelas 1 SD, saya sering bertanya kepada guru IPA tentang hal-hal absurd dan bersifat spontanitas yang terlintas dalam lamunan. Seperti: “mengapa bumi berbentuk bulat?”, “mengapa satelit alami bumi hanya satu, tidak banyak seperti jupiter?”, atau “jika manusia berevolusi dari kera, lalu jin dan hantu dari apa?”. Pertanyaan-pertanyaan absurd tersebut terus memberondong dan menghantui guru IPA saya bahkan terbawa sampai SMA (saya memilih jurusan MIPA hanya karena ingin bertanya). Namun, sebab pengetahuan saya lebih banyak diabandingkan diri saya ketika SD, pertanyaan saya agak berubah menjadi lebih berbobot (mungkin...). Seperti: “apakah api itu materi, atau gelombang?”, “kapan awal janin dianggap telah hidup ketika di kandungan?”, dan merembet ke masalah sosial politik seperti “kenapa pelajaran sejarah diajarkan secara parsial? Apakah ini bentuk doktrin masa orde baru?” dll.
Namun sekarang, fase tertinggi dalam gradasi imajinasi seorang anak, telah langka dijumpai dalam manifestasi (perwujudan) pertanyaan absurd. Saya merasa, sekolah hanya mengharapkan siswa sebagai subjek kepatuhan yang tidak boleh memiliki kedaulatan pemikiran. Sebab bertanya, adalah hal yang tabu. Pemikiran-pemikiran liar yang terlintas dalam lamunan itu hanya akan mengendap dalam kepala, dan menjadi bom waktu yang membunuh kreativitas dan daya kritis anak. Justifikasi kurang waras juga akan merenggut kepercayaan diri untuk berani menyampaikan pertanyaan dan pendapat. Padahal, kebebasan adalah hal yang esensial dalam diri manusia, bahkan dari awal ketika dia dilahirkan. Namun, bagaimana bisa menjadi individu yang merdeka, jika anak sudah terpenjara bahkan sejak dalam pikirannya?
Kita mungkin tidak asing dengan diktum, “tidak ada pertanyaan yang bodoh”. Namun, kalimat itu tidak diimplementasikan seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Manifestasi dari berpikir seperti pertanyaan dan ketidak setujuan atas apa yang diajarkan selalu dilihat dari perspektif sopan santun. Seolah menciptakan kurikulum yang berdasar pada rasa takut. Takut akan neraka sebab berani membantah guru. Jika diperbolehkan menilai secara hiperbolis, sekolah tak ubahnya dari sekte agama. Di mana apa yang disampaikan guru adalah sabda dewa. Buku paket dan LKS adalah kitab suci yang tabu dipertanyakan keabsahannya. Dan siswa adalah seorang hamba yang harus patuh dan bersimpuh tanpa daya.
Sebenarnya kita para siswa secara implisit diajari untuk berpikir. Sebab menemukan jawaban dari cos 2X + sin X = 0 untuk 0 < X< 2pi juga menuntut kita untuk berpikir. Namun, pikiran itu dibatasi hanya untuk mencari jawaban dalam soal. Tanpa boleh digunakan untuk secara kritis mempertanyakan, “untuk apa saya belajar demikian?”. Pertanyaan fundamental itu, ironisnya justru haram terdengar dari mulut siswa.
Namun, ambivalensi sekolah juga melarang kita untuk berpikir. Seolah memiliki standar ganda, dengan menyuruh, sekaligus melarang untuk berpikir. Seperti yang direpresentasikan dalam peraturan-peraturan sekolah yang menurut saya konyol. Seperti: kaos kaki harus 15cm di atas mata kaki, celana pramuka harus 5 cm di atas lutut (saya waktu smp), tidak boleh memakai jaket ketika berangkat sekolah (padahal dingin), dan yang lebih konyolnya lagi, dilarang memakan kuaci (why?). Dari peraturan-peraturan itu, kita tidak diperbolehkan mempertanyakan urgensi, “kenapa peraturan itu harus dibuat?”.
Maka jangan salahkan, jika ada pertanyaan, “mengapa Anda sekolah?” jawaban yang sering terdengar adalah “mencari ijazah, lalu melamar kerja, dari pada menganggur”. Disorientasi tindakan ini, akan berakibat fatal dengan hanya menghasilkan ratusan ribu lulusan baru setiap tahunnya, yang mereka sendiri tidak tahu kenapa mereka diluluskan. Lulusan yang (maaf) hanya bercita-cita menjadi budak. Tanpa ada etos tanggung jawab atas ilmunya supaya diimplementasikan guna kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Atau setidaknya, mendalami satu bidang ilmu untuk bisa mengembangkannya dengan terobosan maupun penemuan baru yang belum ada sebelumnya.
Sebenarnya, secara alamiah manusia telah memiliki logika, bahkan ketika masih dalam kandungan pun, manusia sudah mulai mengaktualisasikan diri, walaupun masih dalam kadar kesadaran yang masih rendah. Lalu, mengapa kita harus belajar logika?
Jika logika rawan akan kesesatan, dan syarat akan keterbatasan, bukan berarti kita mengamini stagnasi pemikiran. Jika hal itu terjadi, berarti kita membiarkan sebuah peradaban untuk mengalami kemunduran. Sebab seluruh disiplin ilmu dalam penunjang kemajuan, secara inheren membutuhkan logika. Jika penarikan kesimpulan secara runtut dan absah tidak pernah dilatih, logika akan tumpul, dan menyuburkan apa yang disebut sebagai logical fallacy. Jika kegagalan merumuskan kesimpulan yang konklusif dan ilmiah dianut oleh masyarakat kolektif, maka akan menjadikan masyarakat itu sebagai masyarakat yang tertinggal, atau mungkin, juga masyarakat marginal.
Akan menjadi konsekuensi logis, ketika kegagalan merumuskan kesimpulan tersebut, melahirkan masyarakat yang masih percaya jika babi ngepet adalah faktor utama kekayaan tetangganya; banjir di Jakarta sebab dzolim pemimpinnya; dan bencana alam di suatu daerah karena ada orang kafir di dalamnya.
Fenomena kadrun, buzzer, cebong, dan kampret, menurut hemat saya adalah sebagaian produk dari kegagalan logika. Bahkan mungkin, juga kegagalan etika dalam berdemokrasi. Karena hanya melihat dari sudut pandang subjektif, menilai secara tendensius, dan mengambil kesimpulan dari informasi secara parsial.
Dan sebenarnya, retorika pemerintah untuk memberantas hoax adalah percuma. Sebab yang diberantas seharusnya adalah kebodohan dan kesubjektifan masyarakat, bukan beritanya. Mau bagaimana pun, manusia-manusia yang tergabung dalam komunitas pencinta hoax seperti itu akan tetap ada. Dan lebih baik, dilestarikan saja. Sebagai quality control kekritisan masyarakat. Jika masyarakat mampu berpikir kritis, dengan menarik konklusi dari premis secara runtut, tanpa membawa sentimen transenden yang dalam buku “Madilog” karya Tan Malaka disebut sebagai logika mistika, maka berita hoax bukan lagi sebuah ancaman. Dan selanjutnya, akan hilang dengan sendirinya.
Dan sekali lagi saya bertanya, kenapa sekolah tidak mengajari kita berpikir?
Baca sampai akhir sambil mikir....
BalasHapussetelah membaca ini kenapa rasanya baru nyadar...
BalasHapus