Langsung ke konten utama

Apa yang salah terhadap agama?



Apa yang salah terhadap agama?

Kita semua tahu jika agama adalah suatu hal yang interpretatif. Sebab satu ayat dalam kitab suci, bisa dimanifestasikan dalam banyak tindakan sekaligus. Bahkan tindakan-tindakan tersebut bisa saling bertolak belakang. Seolah ajaran kitab suci saling kontradiktif, tidak konsisten, dan memiliki standar ganda. Layaknya tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh umat Islam untuk membunuh kaum agama lain. Atau tindakan rela meregang nyawa dari orang Islam demi menyelamatkan kaum agama lain. Semuanya sama-sama menggunakan motif agama. Semua merasa telah melakukan kebenaran. Semua merasa tindakannya didasari pada sumber yang sama. Walaupun dari dua contoh aktual tersebut, saling memungkiri satu dengan yang lainnya.

Menurut Muhammad Fethullah Gulen, agama memegang peranan penting dalam perkembangan dan penentuan jati diri peradaban manusia, pengorganisasian dalam bermasyarakat, dan penjaga nilai-nilai etika.¹ Dan agama yang memenuhi syarat sebagai pilar peradaban adalah agama yang memiliki tujuan luhur, menetapkan dasar-dasar moralitas, dan memuaskan dahaga akan kebutuhan jiwa yang tentu saja tidak hanya masalah ibadah, tetapi juga perkara sosial yang mengayomi kehidupan manusia secara komprehensif.² Bahkan, agama memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti halnya munculnya angka-angka matematis yang dianggap suci oleh peradaban Mesopotamia dan India. Atau bangunan-bangunan megah seperti piramida agung giza dan juga candi Borobudur yang sama-sama dibuat atas dasar spiritual. Kemajuan-kemajuan pemikiran orang-orang terdahulu, dilatar belakangi pada hal yang bersifat spiritual, sakral, dan transendental.

Namun, mengapa saat ini agama justru menjadi salah satu alasan penghambat kemajuan pemikiran? Layaknya Eropa ketika masih pada masa kegelapan dengan mengalami stagnasi ilmu pengetahuan. Segala pengetahuan harus selaras dengan dogma agama. Segala ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan akan dianggap sesat. Dan kasus para pemeluk agama yang ultra-konservatif ini, sebenarnya juga bisa ditemukan pada seluruh praktik beragama. Seperti pemeluk agama yang mengharamkan interpretasi dengan memahami ayat suci secara literal. Memungkiri kekayaan pemikiran dengan menolak kemajemukan. Serta selalu memberi pembenaran sepihak dengan bersembunyi di balik tirai agama. Menganggap apa yang dikatakannya selaras dengan kitab suci. Yakin jika dia salah, berarti Tuhan juga salah. Klaim yang sangat arogan sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Seolah menciptakan Tuhan-Tuhan palsu yang lemah dan tertindas.

Para kaum fundamentalisme yang ekstrem dalam beragama menganggap perbedaan cara pandang sebagai sebuah kelemahan dan rasa tidak percaya diri, sehingga berpegang teguh dengan diktum, “either with us, or, againts with us”. Memungkiri perbedaan dengan berusaha menyeragamkan cara berpikir dan memandang. Bahkan, dapat berkembang menjadi lebih ekstrem dengan memerangi apa yang bertentangan dengan apa yang diyakininya. Para fundamentalis ekstrem ini beesikap anti pluralisme dengan bertindak eksklusif, menganggap kelompok mereka adalah kelompok yang paling benar, kaum pilihan yang mendapat pencerahan sedangkan yang lainnya adalah kotor, najis, harus dihabisi.

Agama yang seharusnya menjadi ujung tonggak kemajuan peradaban, justru dibenturkan dengan akal rasional dan kemanusiaan. Para penganut yang percaya agama adalah hal yang final dalam segala aspek, menolak temuan-temuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan merasa cukup menggunakan agama sebagai jalan keluar satu-satunya untuk menghadapi semua permasalahan. Selalu menggunakan sentimen agama pada hal seharusnya tidak perlu, dan tanpa mereka sadari, justru telah menempatkan agama yang mereka anut sejajar dengan pseudoscience layaknya ramalan zodiak. Sikap absolutisme dalam agama mengibaratkan agama sebagai penjual yang menyediakan segala kebutuhan untuk pembeli dalam menghadapi permasalahan hidup, tidak sebagai alat yang utuh dalam hal konseptual guna menunjang kemanusiaan.³

Menurut Karl Marx, agama adalah keluh kesah masyarakat tertindas. Agama adalah penghilang luka atas tidak bermoralnya dunia. Agama, adalah opium sebagai pereda rasa sakit masyarakat yang termarginalkah dari kesejahteraan, terasing dari kemajuan, dan terbelenggu dari kebebasan. Namun saat ini, agama justru memberikan kesan sebaliknya. Agama tak lebih dari kendaraan politik para penguasa untuk mengemis legitimasi masyarakat. Agama hanya omong kosong yang terlontar dari bibir politisi ketika hendak mencalonkan diri. Dan agama tak lebih dari tipu daya pengusaha untuk meraup untung sebanyak banyaknya. Agama, justru menjadi alat penindas masyarakat. Alat yang selalu saja berhasil mengelabuhi sebab kesubjektifan dengan memanfaatkan keluguan masyarakat yang menganggap segala hal yang berbau agama adalah suci.

Meminjam pendapat dari Abdul Karim Shoros, agama secara universal adalah pemikiran-pemikiran yang menekankan pada kemaslahatan hidup orang banyak, jawaban dari pertanyaan epistemologis pada hal-hal yang transenden, dan wahana seorang hamba dalam mencari pengalaman kepada Tuhannya. Dan secara etimologis, “agama” memiliki perbedaan mendasar dengan “pengetahuan agama”. Agama melekat pada Tuhan atau Yang Maha Sakral sehingga agama bersifat universal, absolut, mutlak, dan autentik. Sedangkan pengetahuan akan agama melekat pada pemeluknya (manusia) sehingga bersifat partikular, subjektif, relatif, dan interpretatif.⁴ Sehingga, menyematkan segala kesalahan pemeluk agama kepada agama yang dipeluknya adalah sebuah kesesatan logika. Dan memang setiap agama memiliki teks yang membahas tentang kekerasan. Namun dari teks tersebut, tidak bisa dijadikan apologi terhadap setiap kekerasan yang dilakukan. Dengan memandang teks tersebut secara parsial, bukan kontekstual. Mereka lupa, kitab suci tidak hanya ayat itu saja. Kegagalan menginterpretasikan agama ini, pada akhirnya justru memberi citra buruk kepada agama yang dipeluknya. 

Jika diteruskan, pemikiran-pemikiran fundamentalisme ekstrem berpeluang besar menjadi bibit-bibit radikalisme. Menyebar stigma dengan semangat juang yang salah. Bersikap ahistoris terhadap dampak buruk dari kejahatan atas nama agama. Dan membuat fragmentasi dalam kesatuan menjadi sebuah hal yang niscaya. Masyarakat akan semakin takut dalam menjalankan agama dan kebenaran akan semakin kabur dari pandangan. Dan pada akhirnya, ateisme dan sekularisme dalam bernegara menjadi hal yang tak terelakan.

Jika agama sudah menjadi isu yang sangat sensitif, diskusi antar umat akan tersendat, kesalahpahaman menguat, antar kelompok akan saling curiga, dan pada akhirnya, permusuhan antar kelompok kecil pun akan menjadi bara dalam sekam yang memantik permusuhan antar umat. Fragmentasi ini, hemat penulis disebabkan oleh cinta berlebih kepada simbol-simbol agama. Jika cinta itu didasarkan pada cinta terhadap Tuhannya, kekerasan tidak akan mungkin terjadi. Sebab cinta kepada Tuhan, berarti juga cinta  kepada seluruh ciptaannya. 

Perlu digaris bawahi, jika agama secara universal tidak salah. Agama pada dasarnya adalah tulang punggung dari perdamaian umat manusia di dunia. Namun, pertanyaannya adalah: sudahkah kita beragama dengan benar?

________________________

¹ Muhammad Fethullah Gulen, Cinta dan Toleransi, (Jakarta: BE Publishing, 2011), hlm. 270.

² Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, (jakarta: republika, 2013), hlm. 26.

³ Aksin Wijaya, Nalar Epistemologi Agama Argumen Pluralisme Religius Epistemologis Abdul Karim Sorosh, 2019, hlm. 9

⁴ ibid; hlm. 3

 

Komentar

  1. Sejuta miliar untuk pemikiranmu.

    BalasHapus
  2. Kutunggu karyamu selanjutnya 👍

    BalasHapus
  3. Artikel yang menarik dan mudah dipahami, semangat terus untuk mengembangkan tulisannya

    Jika anda ingin memesan mesin tepat guna seperti:
    - Mesin Retort Horizontal
    - Mesin Roasting Kopi
    - Mesin Vacuum Frying
    - Mesin Evaporator Vacuum
    - Mesin Grinder Kopi

    Hanya di Toko Mesin Indofamco

    BalasHapus

Posting Komentar