Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

keberpihakan gender: Wanita selalu benar? Perlu dipertanyakan ulang...

keberpihakan gender: wanita selalu benar?  perlu dipertanyakan ulang...   Wanita selalu benar , statement yang selalu jadi stereotipe yang melekat pada perempuan, argumen terakhir ketika kalah dalam perdebatan, konsep baru dalam memandang sebuah permasalahan, atau menjadi landasan dalam membina suatu hubungan—yang dominan—dalam konteks percintaan, namun, dalam kasus kekerasan seksual, wanitalah yang selalu jadi objek yang disalahkan. Hmm... mengapa demikian? Laki-laki merasa punya otoritas, boleh memainkan kuasa secara bebas. Ketika nafsu bergejolak ingin terlepas, tubuh wanita di dekatnyalah yang terkena imbas. Persetan dengan hukuman, atau ancaman apa yang akan didapatkan kemudian, yang terpenting hasrat birahi telah terpuaskan, dan nafsu bejat dapat disalurkan...  Namun sangat disayangkan, wanita tidak punya ruang pergerakan, terpaksa bungkam dengan tindak kekerasan seksual yang dirasakan, terhalang dengan segala ancaman yang dilayangkan, atau pesimis dengan hukum yang...

Nikah muda plus poligami itu enak lho...

  Nikah muda plus poligami itu enak lho…   Ada beberapa golongan dalam tindakannya berjalan menuju jenjang pernikahan; Ada golongan yang tekun memupuk pundi-pundi kekayaan, demi nanti saat menikah tidak terjerat banyak biaya cicilan; Ada yang fokus ke karier pekerjaan dulu hingga mapan, supaya terlihat lebih menawan di depan calon mertua sang pujaan, plus terstempel stigma “mantu idaman”; Ada yang menunda-nunda menyatakan perasaan, dengan dalih ingin bersikap dewasa dulu sebelum menuju ke pelaminan, atau sekedar alibi sebab tidak punya nyali untuk berani mengungkapkan; dan ada juga yang berprinsip terobosajalahanying pernikahan harus disegerakan, supaya doi tidak keburu diembat orang plus segera menyempurnakan iman. Kalau ditunda-tunda, Cuma berpikir karier semata, atau sekedar melatih diri untuk “dewasa”, lha kapan nikahnya? Nikah itu harus segara, tidak perlu bertanya-tanya. Tujuannya kan yang penting tidak lagi kesepian, urusan finansial itu urusan ke sekian, besok maka...

Agama: antara topeng, tameng, dan nilai tukarnya…

 Agama: antara topeng, tameng, dan nilai tukarnya… Ada tujuh agama di Indonesia, enam diantaranya diajarkan di sekolah seperti biasa, satu lagi muncul sebab ada naluri untuk bisa berkuasa (agama politik maksud saya); Fungsi agama adalah memperbaiki moralitas, bukan alat untuk menindas, atau melanggengkan otoritas, tapi di rancah politik, antara benar dan salah hanya selisih sebelas dua belas... Di dunia politik agama juga "dipacari". Namun kesakralan dan kemurnian ajarannya terasa dikebiri. Sedikit pun tidak menyentuh nilai substansi itu sendiri; Oh… seperti itukah implementasi "agama" dari negara yang “katanya” paling religius sedunia ini? hmm... saya kira pendekatan surveinya harus dipikirkan lagi, atau jika perlu hasilnya harus direvisi. Agama juga bisa jadi alibi terkuat untuk melancarkan aksi bejat. Orang-orang berlomba berpakaian seperti ulama demi bisa meraih hati masyarakat. Dengan tipu muslihat itu banyak orang yang akhirnya terjerat, dan ...

Penyebar hoax: walau pintar memperdaya, tetap harus dibudidaya

Penyebar hoax: walau pintar memperdaya, tetap harus dibudidaya Tanpa kita sadari, hoaxer (baca: penyebar hoax) adalah orang yang berkapasitas, mereka mampu untuk menggiring opini masa dengan sebuah gagasan yang tidak jelas. Mereka juga mahir mengolah kata-kata hingga mampu memanipulasi pikiran pembacanya, ini tidak dapat dilakukan jika orang tersebut tidak punya gudang diksi-diksi di kepalannya. Tiap-tiap kosakata dipikirkan dengan saksama hingga tertata; bukti pendukung dibendung supaya tidak dirundung ketika menyebar luaskannya; sumpah serapah tercurah demi terlihat jujur apa adanya; kalian kira menjadi hoaxer gampang? O... tidak seperti kelihatannya  hoaxer juga tahu kebutuhan pasar, bagaimana menata kosakata untuk target opininya; Kaum ibu-ibu suka terlihat serba mengetahui, kalimat harus alay ala anak masa kini, apalagi mengandung gosip sana-sini, agar hoax bisa menjadi alat menebar eksistensi; Kaum terpelajar suka terlihat pintar, kalimat jangan lupa diberi bahasa ...

standarisasi kecantikan: jelek dilarang hidup!!!

standarisasi kecantikan: jelek dilarang hidup… Bulan purnama menjadi majas metafora yang umum dipakai para pujangga, apalagi untuk merepresentasikan keindahan wajah seorang wanita; cantik bersinar, elok rupanya, sedap dipandang, menjadikannya perumpamaan yang sangat pas untuk itu semua. Namun permasalahannya, para pembaca menjadikan hal itu acuan standar untuk tampil lebih sempurna. Doktrin secara tidak langsung dari tolok ukur kecantikan telah memperdaya kita semua, bahkan berimbas pada aspek kehidupan di dunia nyata; Persetan dengan rasa syukur, setiap menatap cermin selalu saja insecure. Sekali tumbuh rasa percaya diri, beberapa saat nanti juga kambuh “penyakitnya” lagi… Oke, kesampingkan insekiyur yang dirasa, permasalahan selanjutnya bukan sekedar stigma-stigma atau stereotipe yang melekat pada bulan purnama, lebih dari itu semua, mari alihkan perhatian kita sebab standarisasi sudah merambah pada dunia kerja. Lhoh kok bisa? Bukti konkret yang biasa kita jumpa, ada pada...

sekolah: siswa tidak perlu proaktif, apalagi berpikir kritis

Sekolah: siswa tidak perlu proaktif, apalagi berpikir kritis Proaktif sudah menjadi sebuah tuntutan. Keaktifan siswa dalam pembelajaran selalu saja dipertanyakan. Tidak bosan frasa “pro-aktif” disuarakan, dengan harapan mampu untuk terealisasikan. Namun, mengapa demikian? Bukankkah kita masih terjebak pada paradigma yang ketinggalan zaman? Masih tidak tepat rasanya mengimplementasikan pemikiran yang berkemajuan, apalagi yang bertolak belakang dengan sebuah kebiasaan. Siswa tidak perlu proaktif, menjadi proaktif mentok-mentok hanya dianggap pencitraan. pelakunya tidak lebih hanya menjadi bahan pembicaraan. Berubah menjadi objek nyinyiran tanpa perlu sebuah alasan—hanya pelampiasan. Menjadi proaktif artinya siap untuk dikucilkan. Dijauhi teman yang memang tidak pernah sepemikiran, dan dibenci dalam suatu lingkup pertemanan. Menjadi proaktif artinya rela menjadi babu dalam pembelajaran; bisa sebab berkompeten untuk menyelesaikan, atau memang karena tidak ada yang mau diberi beban. ...