Langsung ke konten utama

keberpihakan gender: Wanita selalu benar? Perlu dipertanyakan ulang...

keberpihakan gender: wanita selalu benar?  perlu dipertanyakan ulang...

 Wanita selalu benar, statement yang selalu jadi stereotipe yang melekat pada perempuan, argumen terakhir ketika kalah dalam perdebatan, konsep baru dalam memandang sebuah permasalahan, atau menjadi landasan dalam membina suatu hubungan—yang dominan—dalam konteks percintaan, namun, dalam kasus kekerasan seksual, wanitalah yang selalu jadi objek yang disalahkan. Hmm... mengapa demikian?

Laki-laki merasa punya otoritas, boleh memainkan kuasa secara bebas. Ketika nafsu bergejolak ingin terlepas, tubuh wanita di dekatnyalah yang terkena imbas. Persetan dengan hukuman, atau ancaman apa yang akan didapatkan kemudian, yang terpenting hasrat birahi telah terpuaskan, dan nafsu bejat dapat disalurkan... 

Namun sangat disayangkan, wanita tidak punya ruang pergerakan, terpaksa bungkam dengan tindak kekerasan seksual yang dirasakan, terhalang dengan segala ancaman yang dilayangkan, atau pesimis dengan hukum yang rawan keberpihakan.

Korban yang melapor dituntut untuk melampirkan bukti, tapi kejahatan dilakukan tanpa disadari akan terjadi. Korban yang melapor dituntut untuk membawa saksi, namun kejadian berlangsung di tempat yang sepi. Pelapor ditanya, "apakah ada kekerasan fisik yang dialami?" jawabnya, "hanya meraba bagian pribadi tanpa melukai". Berkatalah pengurus kasus, “ah, kalau tidak ada bukti, bagaimana kami bisa menindak lanjuti? Perjuangkan saja hakmu sendiri, itu bukan urusan kami”. seperti itu gambaran yang umum kita jumpai. Belum lagi jika si hidung belang melaporkan balik, dengan tuduhan pencemaran nama baik, untuk membuat korban semakin tak berkutik; Di sini korban justru menjadi pihak yang tidak diperjuangkan, jika bukan keberpihakan, apa lagi nama yang pantas disematkan?

"salah kamu tidak melawan!!!”, “salah kamu mengundang syahwat!!!”, “salah kamu tidak melapor!!!”, “salah kamu berpakaian mini!!!”, dan masih banyak lagi. Dalam konteks ini, wanita yang selalu salah, atau lebih tepatnya, “korban” yang selalu salah, itu sudah menjadi kultural yang sulit untuk diubah. Entah karena mengusut perkaranya susah, atau bersikap moderat tanpa keberpihakan itu tidaklah mudah. Ah.. dasar bedebah... namun sampai kapan tidak berubah? Hmm... proses hukum saja masih perlu dituntun untuk mengetahui arah. Ah... mungkin untuk sekarang wanita hanya bisa pasrah, mencoba tabah dengan tekanan psikis yang mungkin sulit untuk pergi, bayang-bayang akan kemungkinan kejahatan itu terulang kembali, serta aib yang mengintai jika kejadian itu banyak orang yang akhirnya mengetahui. Hmm... masalah bisa datang bertubi-tubi.

Wanita pantas untuk berdaulat, bebas mengemukakan pendapat, boleh menjadi apa pun sesuai minat dan bakat, serta tidak terjerat stigma yang “mengikat”. Namun patriarki terlanjur terlalu dalam dipahami, feminisme dianggap pemberontakan kodrat Illahi, emansipasi yang gencar diperjuangkan R.A Kartini masih menjadi dongeng yang implementasinya kurang kita rasakan saat ini. Hmm... agaknya jiwa-jiwa Kartini harus kita hidup kan kembali, jika persamaan hak perempuan saja masih langka kita jumpai, bagaimana pemberian perlindungan bagi mereka yang rentan terhadap kekerasan saat ini?

Komentar

Posting Komentar