Narasi identitas etnis yang hiperbolis
“Haiya… oek tidak tau a…” : sebuah penggalan percakapan yang umum untuk merepresentasikan seorang etnis tionghoa; bermata sipit, pakaian serba merah, kalimat diawali dengan “haiyaa…”, serta kosa kata bahasa yang khas sebagai pembeda antara pribumi asli, dan asingaseng etnis tionghoa itu sendiri.
Karakter etnis dibedakan dengan sebuah ciri khusus untuk menimbulkan kesan kuat kepada audience, persetan dengan penggambaran yang rasional, media hanya membuat karakter tambahan bisa menjadi lebih dikenal, dengan pemaparan yang telah menjadi standart dalam media hiburan.
Etnisitas ditekankan melaui logat bicara yang disenandungkan, pakaian yang menjadi identitas kultur yang membedakan, serta improvisasi yang karikatural, bahkan terkesan tidak tidak masuk akal. Sebagai contoh, etnis tionghoa digambarkan sebagai kokoh-kokoh penjaga toko, yang pelitnya sudah tidak bisa lagi dinego, serta pelafalan kata yang pelo. benar to?
Namun di kehidupan nyata, orang keturunan cina tidaklah demikian (walaupun ada sebagian sih, hehe..), semuanya berbeda dengan apa yang media kita sajikan, bahkan media terkesan melebih-lebihkan. Namun, pentingkah “penandaan” etnisitas sebuah karakter dibuat dominan?
“penandaan” ini muncul sebab etnis tionghoa/orang keturunan cina berada pada posisi yang rancu dalam persepsi masyarakat pada umumnya: mereka indonesia, tapi orang asing; mereka orang asing, tapi indonesia; penaandaan dimaksudkan untuk menggeser posisi mereka ke sisi yang lebih mencerminkan “siapa mereka sebenarnya”. Ya, anda tau tahu sendiri mereka “digeser” di posisi mana…
Penandaan muncul sebab ada suatu perbedaan yang dianggap unik, ataupun aneh. Mereka yang mayoritas atau dominan tidak butuh “penandaan”, dan mereka menempatkan diri sebagai masyarakat yang normal, dan menjadi standart penilaian normal. Dengan kata lain, etnis, golongan, kepercayaan, atau apapun itu yang tidak seperti mayoritas, akan terstempel label aneh. Dan perlu ditandai untuk membedakan mana yang umum, dan mana yang unik. Bukankah itu rasis? Tapi intensitas media merepresentasikan etnis sebagai pribadi yang unik, menjadikan stereotipe itu tumbuh sebagai kultur baru yang dapat ditoleran, dan rasisme samar untuk diperhatikan, bukankah demikian?
Etnis tionghoa punya identitas, mereka berhak mendapat penilaian sebagai masyarakat yang normal seperti mayortias, tapi media merenggut apa yang seharusnya mereka dapatkan secara pantas; hmm… ingin membela, tapi takut dituduh antek pro cina, komunis, atau konspirasi wahyudi... hmm… jan angel… angel…
yasudah, sampai di sini saja..., saya mau cari aman soalnya... heuheuheu
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus