Langsung ke konten utama

feminisme dan penyimpangan kodrat

Feminisme, dan penyimpangan kodrat


Gencar paham feminisme disuarakan. Media sosial berubah jadi arena adu komentar. Berebut pendapat siapa yang paling benar. Syariat dan emansipasi pun kini berubah menjadi hal yang berlawanan. 

Feminisme bukan ajang mendominasi, atau pengalihan fungsi kodrat laki-laki. gelar pemimpin tetap tersemat pada diri sang “suami”, hanya saja seorang “istri” punya hak untuk beropini, berekspresi, dan mengembangkan diri. Tidak terkekang dengan perintah mutlak, yang terkadang hanya menguntungkan sepihak, dan berujung pada perampasan hak.

Feminisme bukan ajang melepaskan diri, dari kewajiban yang harus di taati; Banyak yang menyalah arti, jika feminisme adalah gerakan menduduki posisi “tertinggi”. Menggeser apa yang seharusnya didapat laki-laki. Hingga orang-orang awam pun mulai anti, menolak sepenuh hati, tanpa dicari tahu definisi yang asli. Semua hanya bisa mengomentari tanpa data yang valid dan sanggahan yang berarti.

Feminisme tidak menyalahi kodrat, begitu pun dengan syariat. Feminisme adalah hak yang memang harus didapat, asal implementasinya harus tepat; Jangan asal berkata “tidak!” atau gencar mempengaruhi untuk menolak. Feminisme hanya gerakan menuntut kesetaraan, tidak sekte sesat yang keberadaannya meresahkan. Jadi, apa yang  sebenarnya ditakutkan?
Masalahnya, para “agamis kapitalis” berubah hadi oknum anti kritik. Pendapatnya pun jadi bahan lawakan yang menggelitik. Di senggol sedikit tiba-tiba bersikap agonistik. Kealiman seseorang pun diukur melalui data statistik, dari angka pengikut yang terjebak dalam dogma fakta yang diutak-atik.

Jangan lupa! perempuan adalah makhluk yang sempurna. Tidak ada kesenjangan antara pria dan wanita. Laki-laki tidak berhak mengikat dengan aturan absolut yang dipaksa, begitu pun juga sebaliknya; Pikiran perempuan tidak pernah bernilai setengah, tolong jangan diartikan secara harfiah. dengan berkedok dalil, dogma mengasal pun bisa jadi alat perampas hak untuk mengubah, alhasil, perempuan hanya bisa pasrah, dengan oknum yang asal “ndalil” tanpa ditelaah. 

Banyak yang berkiblat pada syariat agama, jika perempuan adalah pelayan laki-laki seutuhnya. Namun, mereka lupa, agama juga menganggap perempuan sebagai “ratu” atau sosok mulia yang harus dijaga, dan dirawat sepenuh jiwa; “laki-laki itu memerintah, perempuan itu diperintah”, kata itu di telan mentah-mentah. Tidak boleh ada yang menyanggah. Beda pemahaman dianggap salah. Lalu apa bedanya dengan ORBA saat Soeharto memerintah? 

Semua orang punya otoritas, tetapi juga punya batas, atas perilaku tidak pantas, jadi tidak sepenuhnya terbebas; hubungan yang sehat adalah hubungan yang saling melengkapi, antara satu dan lain saling berkolaborasi, tidak berlomba untuk lebih mendominasi, atau lebih parahnya lagi, menganggap pasangan adalah pelayan dari diri sendiri, jadi, mulailah membenahi, barangkali ada kekurangan yang mungkin tidak kita sadari. 
~~~
Sudah sejak lama kaum hawa diperlakukan berbeda, banyak usaha dilakukan demi menggapai kesetaraan kasta, supaya tidak ada lagi diskriminasi antara pria dan wanita. Namun sekiranya, perubahan apa yang sekarang dapat kita rasa? Mungkin hanya sebuah slogan emansipasi yang sebatas retorika; Masih banyak kita berjumpa “Eksploitasi” buruh wanita dengan dalih memberi tempat bekerja, tetapi dengan upah tak seberapa, dan hak mutlak yang dibatasi dengan sengaja.

Emansipasi adalah sikap, bukan ambisi; Setiap 8 Maret hari perempuan internasional diperingati. Banyak aksi demonstrasi digelar di sana-sini. Namun apakah semuanya punya arti? Tidak sama sekali. Lagi-lagi wanita masih menjadi korban kejamnya “buta identitas diri”; Bak disalah arti, emansipasi dianggap penggeseran tugas laki-laki, seperti sosok ibu yang jadi tulang punggung keluarga demi sesuap nasi, bukan itu definisi yang asli; Stigma wanita yang berada di "bawah” masih melekat bahkan berubah menjadi “jati diri”; Wanita masih kerap jadi alibi dari kekerasan yang dialami. Mereka berkata: “Mengapa tidak melawan, jika diam, itu salahmu sendiri”, cuma itu tanggapan yang diberi, dari maraknya kasus yang kian menjadi-jadi. Mana sikap kritis para penegak hak asasi? Ah, sudahlah, jadi tidak asyik lagi.

Keberadaan pria maskulin tidak cukup wawasan semakin mempersempit kebebasan. Keotoriteran pria memaksa wanita tunduk tanpa perlawanan. Ketika kata “Lawan...!!” di demonstrasi jalanan berubah bungkam di depan pasangan. Takut akan dibalas kepalan tangan. Jangan hanya lawan dengan slogan, tambahlah dengan ilmu pengetahuan. Jangan sebatas kalimat retorik semata, buatlah tindakan nyata; Dunia akan selalu pura-pura tuli dengan aksi yang tidak menguntungkan secara pribadi. Jika emansipasi masih belum terealisasi, buatlah emansipasimu sendiri!





Komentar