Suluk
Tak lagi sanggup aku menahan, setiap raga ini seolah Engkau yang menggerakan. Mana mungkin aku dipaksa diam? Jika dalam setiap gerakku Engkau hadir di sisiku. menari bersama dalam indahnya angan-angan. Saling bertegur sapa dengan dzikir jahr yang ku kumandangkan. Tapi entah sampai berapa lama akan bertahan? Jika dalam kecilnya hati ini, terselip makhluk yang tak pantas aku sandingkan.
Malam telah tiba, momen yang selalu didamba-damba oleh para pujangga. Ketika sunyi menerpa menggerus tawa yang telah ada, Engkau datang membawa senyum diriuhnya sedih dan lara. Satu kebiasaan yang selalu aku tunggu, ketika para salik berkumpul untuk mengadu segala keluh kesah karena tak sanggup menanggung rindu. Semua pesuluk duduk melingkar menunggu sang mursyid datang. Semua orang nampak terdiam, satu katapun tak terdengar dari bibir masing-masing orang. Hati ini sudah merasa tidak sabar lagi menunggu dimulainya pertemuan. Hingga sang mursyid datang, memimpin para pujangga bertemu yang mereka cinta. ia menuju ke tangah-tengah lingkaran, bertugas sebagai pemandu dan penunjuk jalan. Sang mursyid mengangkat tangan memberi aba-aba, tanda dimualainya pertemuan ini. Sesaat sebelum genderang ditabuh, kubuang jauh-jauh semua isi hati selain diri-Mu. Semua terlihat mulai sungguh-sungguh memanggil angungnya nama-Mu. Semuanya terlena akan nikmatnya bermesraan dalam pusara kasih sayang-Mu. Kita semua dibuat tak sadarkan diri perlahan-lahan. Rintihan demi rintihan berjalan beriringan dengan hentakan kepala dan badan. Semua hanya untuk satu tujuan, membuka tabir misteri yang selama ini telah terpendam.
Dalam setiap gerakan ini aku manifestasikan setiap deru rinduku kepada-Mu Kekasih. Tak sanggup lagi raga ini menahan untuk bertemu. Jiwa ini terlalu bersemangat dalam tiap pukulan genderang yang ditabuh. Hingga tak terasa kegilaan sesaat ini membawaku terlalu jauh. Entah sampai mana akan hati ini membawaku. Entah berakhir dengan tabir yang telah terbuka, atau justru semakin menambah hija1b yang telah ada. Tabuhan genderang semakin cepat. Raga semakin bergelora menghentakkan kepala. Semua pikiran duniawi mendadak sirna. Kami semua terbang ke tingkat yang lebih tinggi ke angkasa, hingga tak terasa telah kecil kami pandang dunia. Oh, seperti ini rasanya, memang wajar jika para pesuluk dianggap telah gila.
Nafas panjang yang melantunkan sholawat dan salam untuk sang Mustofa telah berhenti. Pertanda akan berakhirnya pertemuan ini sebentar lagi. Semua jiwa-jiwa yang pergi beterbangan telah kembali. Pulang ke wadah masing-masing membawa rindu yang sedikit terobati. Semua peristiwa yang telah terjadi melebur hilang ditelan bumi. Hanya menyisakan sedikit oleh-oleh keindahan cahaya Illahi. Sungguh nikmat apa yang pesuluk itu perbuat. Ketika semua tak peduli akan dikabulkannya hajat, tetapi hanya meresapi nikmatnya diberi kesempatan untuk bermunajat. Semua bukan semata mendamba surga ataupun takut neraka. Tetapi hanya untuk menuju kepada pemilik keduanya.
Malam kembali lagi, membawa sejuta kerinduan yang tak tahu ditampung di mana lagi. Ketika para salik mulai menampakkan diri, bertemu melepas rindu dengan sang kekasih sejati, dan para orang riya' bersembunyi, mengelak dari segala kekurangannya yang ditutup-tutupi.
Sulit bagi para sufi untuk tidur, jika yang dicintainya selalu terjaga. Hati ini selalu memaksa untuk terus mendamba. Jika engkau tanya seberapa rinduku kepada-Nya, cobalah tanya pada mata yang hitam dan bibir yang pucat. Karena haram bagi kedua mata ini tidur terlelap sebelum mencapai nikmat bermunajat. Hingga tujuan hampir berakhir, ketika sang kekasih sejati datang memanggil,
"hambaku, waktunya pulang".
Tapi belum puas rasanya, jika hanya kesempatan ini berlalu begitu saja...
"oh Tuhanku, engkau memberiku hidup tanpa perantara, maka ambillah aku juga tanpa perantara...".
note : tulisan ini mendeskripsikan gerakan dzikir banasyid dan pengalaman si pelaku (salik) dari perspektif pribadi saya.
jadi pengalaman spiritual tersebut bukan saya alami sendiri. tapi masih bersifat berandai-andai.
Komentar
Posting Komentar