Langsung ke konten utama

Sekolah, individualisme, dan diskriminasi

sekolah, individualisme, dan diskriminasi


Kerancuan pagi para pelajar sudah menjadi hal yang wajar. Mau menjadi apa kami nanti? Jika di sekolah hanya diajari duduk termenung menghafal materi. Sekolah yang notabene adalah persiapan menghadapi kehidupan kemudian nanti, kini telah kehilangan hakikat asli definisi itu sendiri. 

Pemikiran kritis dibatasi, karena beda posisi. Kebebasan berpendapat ditahan, karena dianggap tidak relevan. Siswa dituntut tunduk aturan yang absolut, tetapi hak siswa dalam mengembangkan diri ditekan untuk menciut. 

Mau jadi apa kami ini? Bekal menghadapi kejamnya zaman pun tidak dikantongi, materi dijejal tanpa berpikir psikis siswa yang merangkak untuk berdiri, gambaran mengerikan kehidupan disodor tanpa diberi solusi, apakah karena kurikulum13 yang menuntut untuk siswa belajar sendiri?

Sekolah adalah bukti konkret doktrin individualis sejak dini, anak dituntut menyingkirkan teman seperjuangan demi menggapai posisi tertinggi, alih-alih saling bahu membahu menggapai tujuan yang diminati. “kamu harus bisa mengalahkan teman-temanmu...”, orang tua secara tidak langsung juga setuju, anak semakin apatis dengan nasib “kawan sebangku”, lalu apa guna relasi? Selain praktik kegiatan nepotisme (orang dalam) yang menjadi fenomena wajar di negeri ini, mau maju bagaimana sistem pendidikan kita jika hanya jalan di tempat saja? Beda menteri beda jalan, beda daerah beda kebijakan, beda isi kepala beda perlakuan, oh.. ingin kuberkata kasar.

Namun apa boleh buat? Paradigma yang tertanam di sistem pendidikan telah salah sejak lama. Siswa hanya dituntut tunduk dan mengejar nilai semata. Tetapi implementasi dari kumpulan angka itu masih rancu dan terkesan sia-sia. “siswa yang mendapat nilai A hingga tidak terhitung jumlahnya adalah siswa yang pintar”, bualan yang salah kaprah tentang penilaian siswa, padahal siswa punya kepandaian majemuk, dari IQ, EQ, SQ, serta sembilan jenis penguraian kepandaian yang mungkin dikemudian hari, para peneliti akan menemukan kepandaian-kepandaian baru. Namun apa realitas di lapangan? Hanya karena satu mata pelajaran mendapat nilai buruk dianggap bodoh keseluruhan. Bagaimana bisa psikis sang anak berkembang dengan tekanan akan doktrin “Anda orang bodoh” secara tidak langsung?

Komentar

  1. Istilah umun saja mas kadang sya tidak mengerti istilah² asing wkwkwkkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwk siap siap, saya sengaja supaya rimanya pas, untuk selanjutnya saya minimkan penggunaan kalimat asing

      btw, terimakasih banyak

      Hapus

Posting Komentar